Читать книгу Ikrar Kemenangan - Морган Райс, Morgan Rice - Страница 14
BAB EMPAT
ОглавлениеGareth berlari di lantai batu di ruang belajar ayahnya – sebuah ruangan kecil di lantai teratas istana yang disukai ayahnya – dan, sedikit demi sedikit, mengobrak-abriknya.
Gareth menuju rak demi rak, menyentak turun volume-volume berharga, buku kulit kuno yang teralh berada di dalam keluarganya selama beravbad-abad, merobek jilidannya dan merobek-robek halamannya menjadi potongan kecil. Saat ia melemparkannya ke udara, kertas-kertas berjatuhan di atas kepalanya seperti salju, menempel pada tubuhnya dan air mata mengalir di pipinya. Ia telah memutuskan untuk merobek-robek setiap benda di dalam ruangan ini yang disayangi ayahnya, satu buku sekaligus.
Gareth bergegas menuju ke meja di sudut ruangan, meraih yang tersisa di pipa opiumnya, dan dengan tangan gemetar mengisapnya keras-keras, membutuhkan efeknya sekarang juga lebih dari sebelumnya. Ia kecanduan, mengisapnya setiap menit sebisa mungkin, bertekad untuk menghalau bayangan ayahnya yang menghantuinya dalam mimpi-mimpinya, dan sekarang bahkan ketika dia terjaga.
Saat Gareth meletakkan pipa itu, ia melihat ayahnya berdiri di sana, di hadapannya, sebuah mayat yang membusuk. Setiap kali dia melihatnya, mayat itu semakin membusuk, semakin terlihat tulang-belulangnya ketimbang daging; Gareth berpaling dari pandangan mengerikan itu.
Gareth tadinya berusaha menyerang bayangan itu – namun dia telah belajar bahwa itu tak ada gunanya. Jadi sekarang dia hanya memalingkan kepalanya, terus-menerus, selalu berpaling. Bayangan itu senantiasa sama: ayahnya mengenakan sebuah mahkota berkarat, mulutnya terbuka, matanya menatap dirinya dengan mencemooh, mengulurkan satu jarinya, menunjuk menuduh dirinya. Dalam keadaan mengerikan itu, Gareth merasa sisa harinya dapat dihitung, merasa bahwa hanya masalah waktu sampai dia bergabung dengan ayahnya. Ia benci melihat ayahnya lebih dari apa pun. Jika ada satu anugrah yang diberikan padanya saat pembunuhan ayahnya, yaitu bahwa dia tidak perlu melihat wajah ayahnya lagi. Tapi sekarang, ironisnya, ia melihat wajah ayahnya lebih sering dari sebelumnya.
Gareth berbalik dan melemparkan pipa opium pada penampakan itu, berharap bahwa jika ia melemparkannya cukup cepat mungkin akan benar-benar mengenainya.
Tapi pipa itu hanya melayang di udara dan menabrak dinding, hancur.
Ayahnya masih berdiri di sana, dan melotot ke arahnya.
"Obat itu tak akan membantumu," ayahnya memaki.
Gareth tidak tahan lagi. Dia menyerang penampakan itu, mengulurkan tangannya, ingin sekali mencakar wajah ayahnya; tapi seperti biasanya, dia menembus tidak mengenai apa-apa selain udara, dan kali ini terjerembab ke seberang ruangan dan mendarat keras di meja kayu ayahnya, membuatnya menjatuhkannya ke lantai bersama dirinya.
Gareth terguling di lantai, terengah-engah, dan mendongark lalu melihat ia telah melukai lengannya. Darah mengalir di pakaiannya, dan ia melihat dan menyadari bahwa dirinya masih mengenakan baju dalam yang ia pakai untuk tidur selama berhari-hari; sesungguhnya, ia tidak ganti baju selama seminggu sampai hari ini. Ia menatap bayangan dirinya sendiri dan melihat rambutnya awut-awutan; ia terlihat seperti berandalan. Sebagian dari dirinya sulit memercayai bahwa dirinya telah tenggelam begitu rendah. Namun bagian dari dirinya yang lain tidak lagi peduli. Satu-satunya hal yang tersisa di dalam dirinya adalah hasrat membara untuk menghancurkan – untuk menghancurkan bekas-bekas peninggalan ayahnya yang terdahulu. Dia ingin meratakan kastil ini dengan tanah, beserta Istana Raja. Itu akan menjadi balas dendam atas perlakuan yang ia terima sebagai seorang anak. Kenangan-kenangan itu terperangkap di dalam dirinya, seperti sebuah duri yang tak bisa ia cabut.
Pintu ruang belajar ayahnya terbuka lebar, dan segera masuklah salah satu pelayan Gareth, menatapnya dengan ketakutan.
“Baginda,” ujar pelayan itu. “Saya mendengar suara dentaman. Apakah Anda baik-baik saja? Baginda, Anda berdarah!”
Gareth menatap bocah itu dengan kebencian. Gareth berusaha berdiri, untuk mencambuknya, tapi dia terpeleset sesuatu, dan kembali jatuh ke lantai, kehilangan keseimbangan karena efek terakhir opium.
“Baginda, saya akan menolong Anda!”
Bocah itu segera maju dan meraih lengan Gareth, yang sangat kurus, hampir-hampir hanya berupa daging dan tulang.
Namun Gareth masih mempunyai sisa kekuatan dan saat bocah itu menyentuh lengannya, ia mendorongnya, mengirimkannya ke seberang ruangan.
“Jika kau sentuh aku lagi maka aku akan memotong tanganmu,” Gareth mendidih.
Bocah itu mundur ketakutan, dan saat itu juga, pelayan lain memasuki ruangan, ditemani oleh seorang pria tua yang samar-samar Gareth kenali. Entah di mana di dalam ingatannya ia mengenalnya – tapi ia tidak bisa mengigat siapa.
“Baginda,” terdengarlah sebuah suara pria tua yang serak, “kami telah menunggu Anda di ruangan dewan selama setengah hari. Para anggota dewan tak bisa menunggu lebih lama lagi. Mereka mempunyai berita mendesak, dan harus memberitahukannya kepada Anda sebelum hati ini berakhir. Akankah Anda datang?”
Gareth menyipitkan matanya pada pria itu, mencoba mengingatnya. Ia samar-samar ingat dia telah mengabdi kepada ayahnya. Ruangan dewan... Pertemuan... Itu semua berputar-putar di dalam pikirannya.
“Siapakah kau?” Gareth bertanya.
“Baginda, saya Aberthol. Penasihat terpercaya ayah Anda,” ujarnya, melangkah lebih dekat.
Ingatannya perlahan-lahan kembali. Aberthol. Dewan. Pertemuan. Pikiran Gareth berputar, kepalanya sakit. Ia hanya ingin sendirian saja.
“Tinggalkan aku,” tukasnya. “Aku akan ke sana.”
Aberthol mengangguk dan segera keluar dari ruangan itu bersama sang pelayan, menutup pintu di belakang mereka.
Gareth berlutut di sana, memegang kepalanya, mencoba untuk berpikir, untuk mengingat. Itu semua terlalu banyak. Ingatannya mulai kembali sedikit demi sedikit. Perisai telah turun; Kekaisaran menyerang; setengah istananya tersisa; saudarinya telah meninggalkan dirinya; menuju Silesia…Gwendolyn…Itu dia. Itulah apa yang coba ia ingat.
Gwendolyn. Ia membencinya dengan segala kemurkaan yang tak bisa ia gambarkan. Sekarang, lebih dari sebelumnya, ia ingin membunuhnya. Ia harus membunuhnya. Semua masalah dalam dunia ini – itu semua disebabkan olehnya. Ia akan menemukan cara untuk mengembalikannya, bahkan jika ia harus mati dalam melakukannya. Dan kemudian ia akan membunuh saudara kandungnya.
Gareth mulai merasa lebih baik karena pikiran itu.
Dengan susah payah, dia berusaha berdiri dan terhuyung ke seberang ruangan, menabrak pinggir meja saat ia melakukannya. Ketika dia mendekati pintu, ia melihat patung pualam putih ayahnya, sebuah patung yang sangat disukai ayahnya, dan ia mengulurkan tangan, menyambar kepala patung itu dan melemparkannya ke dinding.
Patung itu hancur berkeping-keping, dan untuk untuk pertama kalinya pada hari itu, Gareth tersenyum. Mungkin hari ini tidak begitu buruk.
*
Gareth melangkah dengan angkuh menuju ruangan dewan yang dijaga oleh beberapa pengawal, membanting pintu ek besar itu dengan telapak tangannya, membuat semua orang di dalam ruangan yang riuh itu terkejut atas kehadirannya. Mereka semua segera berdiri tegak.
Biasanya, hal ini akan memberikan sedikit kepuasan bagi Gareth, pada hari ini, dia tak lagi peduli. Dia terganggu oleh hantu ayahnya, dan diliputi kemurkaan karena saudarinya telah pergi. Emosinya teraduk-aduk di dalam dirinya, dan dia harus mengeluarkannya.
Gareth terhuyung melewati ruangan besar itu dalam kekaburan yang ditimbulkan opiumnya, berjalan menuju ke tengah lorong menuju singgasananya, lusinan anggota dewan berdiri saat dia lewat. Peserta majelis itu semakin banyak, dan hari ini energi mereka sangat gelisah, karena semakin banyak orang yang kelihatannya mendengar kabar tentang dikuasainya setengah Istana Raja, dan perisai turun. Sepertinya seolah-olah siapa pun yang tersisa di Istana Raja menuntut jawaban.
Dan tentu saja, Gareth tak punya jawabannya.
Saat Gareth berjalan dengan angkuh menaiki anak tangga berwarna gading menuju singgasana ayahnya, ia melihat, berdiri dengan sabar di belakangnya, Lord Kutlin, pimpinan prajurit bayaran dari pasukan penyerang pribadinya, satu pria yang tersisa di dalam istana yang bisa ia percayai. Bersamanya berdirilah lusinan petarungnya, berdiri di sana dalam diam, tangan-tangan pada pedang mereka, siap untuk bertarung sampai mati demi Gareth. Itu adalah satu hal tersisa yang memberikan rasa nyaman bagi Gareth.
Gareth duduk di singgasananya dan mengamati ruangan itu. Ada begitu banyak wajah, beberapa ia kenali dan banyak yang tidak. Ia tak memercayai satu pun dari mereka. Setiap hari ia menyingkirkan semakin banyak orang dari istananya; ia telah mengirimkan begitu banyak dari mereka ke penjara bawah tanah, dan bahkan kepada algojo. Tak sehari pun berlalu ketika ia tidak memnunuh setidaknya beberapa orang. Ia mengira itu adalah kebijakan yang bagus: itu membuat orang-orang tetap di bawah kakinya, dan mencegah terbentuknya pemberontakan.
Ruangan itu menjadi hening, menatap ke arahnya dengan bingung. Mereka semua nampak takut untuk berbicara. Persis seperti itulah yang ia inginkan. Tak ada yang membuatnya lebih senang dibandingkan menyuntikkan ketakutan kepada bawahannya.
Akhirnya, Aberthol melangkah maju, tongkatnya bergema di batu, dan berdeham.
“Baginda,” dia memulai, suaranya parau, “kami bertahan pada saat kekacauan besar di dalam Istana Raja. Saya tidak tahu kabar apa yang telah Anda dengar: Perisai turun; Gwendolyn telah meninggalkan Istana Raja dan membawa Kolk, Brom, Atme, Kesatuan Perak, Legiun, dan setengah pasukan Anda – bersama dengan setengah Istana Raja. Mereka yang tetap tinggal di sini mengarapkan petunjuk dari Anda, dan untuk mengetahui langkah apa yang selanjutnya dilakukan. Orang-orang menginginkan jawaban, tuanku.”
“Selain itu,” ujar anggota dewan lain yang samar-samar Gareth kenali, “kabar telah menyebar bahwa Ngarai telah diterobos. Rumor itu mengatakan bahwa Andronicus telah menginvasi sis McCloud dari Cincin dengan pasukan sejuta prajuritnya.”
Kesiap marah menyebar di seluruh ruangan itu; lusinan ksatria tangguh saling berbisik, diliputi dengan ketakutan, dan suasana panik menyebar seperti kobaran api.
“Itu tidak boleh terjadi!” seru salah satu prajurit.
“Ya!” anggota dewan bersikeras.
“Maka semua harapan musnah!” teriak prrajurit lain. “Jika McCloud sudah diserbu, selanjutnya Kekaisaran akan datang untuk Istana Raja. Tak mungkin kita bisa menahan mereka.”
“Kita harus mendiskusikan syarat-syarat untuk menyerah, baginda,” ujar Aberthol kepada Gareth.
“Menyerah!?” teriak pria lain. “Kita tidak akan pernah menyerah!”
“Jika tidak,” prajurit lain berteriak, “kita akan dihancurkan. Bagaimana kita bisa bertahan terhadap satu juta pasukan?”
Ruangan itu pecah menjadi gumaman marah, prajurit dan dewan berdebat satu sama lain, semua dalam kekacauan.
Pemimpin dewan menghantamkan tongkat besinya di lantai batu dan berteriak:
“DIAM!”
Perlahan-lahan, ruangan itu hening. Semua orang berpaling dan menatap ke arahnya.
“Itu semua adalah keputusan bagi seorang raja, bukan kita,” salah satu anggota dewan berkata. “Gareth adalah Raja yang sah, dan bukan kita yang membahas syarat-syarat penyerahan diri – atau seandainya tidak menyerah.”
Mereka semua berpaling kepada Gareth.
“Baginda,” ujar Aberthol, kelelahan dalam suaranya, ”bagaimanakah Anda mengajukan cara kita menangani pasukan Kekaisaran?”
Ruangan itu menjadi sangat hening.
Gareth duduk di sana, menatap orang-orang, yang menunggu jawaban. Tapi semakin sulit baginya untuk mempertahankan pikirannya tetap jernih. Ia terus mendengar suara ayahnya di dalam kepalanya, berteriak kepaadanya, seperti saat ia masih kecil. Itu membuatnya gila, dan suara itu tak mau hilang.
Gareth mengulurkan tangan dan menggores senjata kayu singgasananya, lagi dan lagi. Suara kuku jarinya hanyalah satu-satunya suara di dalam ruangan itu.
Para anggota dewan bertukar pandang dengan khawatir.
“Baginda,” anggota dewan lain mengulangi, “jika Anda memilih untuk tidak menyerah, maka kita harus membentengi Istana Raja segera. Kita harus mengamankan semua jalan masuk, semua jalan, semua gerbang. Kita harus memanggil para prajurit, menyiapkan pertahanan. Kita harus bersiap-siap terhadap serangan, menimbun makanan, melindungi rakyat kita. Ada banyak sekali hal yang harus dilakukan. Tolonglah, tuanku. Berikan kami sebuah perintah. Katakan kepada kami apa yang harus dilakukan.
Sekali lagi ruangan itu menjadi sunyi, semua mata tertuju kepada Gareth.
Akhirnya, Gareth mengangkat dagunya dan mendongak.
“Kita tidak akan melawan Kekaisaran,” ia mengumumkan. “Kita juga tidak akan menyerah.”
Semua orang dalam ruangan itu saling berpandangan, bingung.
“Lalu, apa yang kita lakukan, tuanku?” tanya Aberthol.
Gareth berdeham.
“Kita harus membunuh Gwendolyn!” Gareth menegaskan. “Itulah yang penting sekarang.”
Muncullah kesunyian terkejut.
“Gwendolyn?” seorang anggota dewan berseru terkejut saaat ruangan itu pecah menjadi gumaman terkejut.
“Kita akan mengirimkan semua pasukan kita untuk mengejarnya, untuk membantainya dan mereka yang bersamanya sebelum mereka mencapai Silesia,” Gareth mengumumkan.
“Tapi, tuanku, bagaimanakah hal ini bisa membantu kita?” seru seorang anggota dewan. “Jika mengambil risiko untuk menyerangnya, itu hanya akan membuat pasukan kita terlihat. Mereka semua akan dikepung dan dibantai oleh Kekaisaran.”
“Itu juga akan membuat Istana Raja terbuka terhadap serangan!” seru yang lain. “Jika kita tidak akan menyerah, kita harus membentengi Istana Raja segera!”
Gareth berpaling dan melihat ke arah anggota dewan itu, matanya dingin.
“Kita akan menggunakan semua orang yang kita punya untuk membunuh saudariku!” ujarnya suram. “Kita tidak akan meloloskan satu orang pun!”
Ruangan itu menjadi hening saat anggota dewan itu mendorong kursinya, menggesek lantai batu, dan berdiri.
“Saya tidak akan melihat Istana Raja hancur karena obsesi pribadi Anda. Saya, sendirian, tidak mendukung Anda!”
“Saya juga!” gema setengah pria di dalam ruangan itu.
Gareth merasakan dirinya terbakar kemarahan, dan baru akan berdiri ketika tiba-tiba pintu menuju ruangan itu terkuak terbuka dan segera masuklah komandan dari pasukan yang tersisa. Semua mata tertuju padanya. Dia menyeret seseorang dalam lengannya, seorang berandalan dengan rambut licin, brewok, terikat pergelangan tangannya. Dia menyeret pria itu sepanjang jalan menuju ke tengah ruangan dan berhenti di hadapan raja.
“Baginda,” ujar komandan itu dengan dingin. “Dari enam pencuri yang dieksekusi atas pencurian Pedang Takdir, pria inilah yang ketujuh, seseorang yang kabur. Dia menceritakan kisah paling menakjubkan tentang apa yang telah terjadi.
“Bicaralah!” desak komandan itu, menggoyang berandalan itu.
Berandalan melihat dengan gugup ke segala arah, rambut licinnya menempel di pipinya, terlihat tidak yakin. Akhirnya, dia berseru:
“Kami diperintahkan untuk mencuri pedang itu!”
Ruangan itu pecah menjadi gumaman marah.
“Ada sembilan belas dari kami!” lanjut berandalan itu. “Selusin dari kami adalah untuk membawanya pergi, di dalam naungan kegelapan, menyeberangi jembatan Ngarai, dan menuju ke alam liar. Mereka menyembunyikannya di dalam sebuah kereta dan membawanya menyeberangi jembatan sehingga prajurit yang berjaga tak akan tahu apa yang ada di dalamnya. Yang lain, tujuh dari kami, diperintahkan untuk tetap tinggal setelah pencurian itu. Kami diberitahu bahwa kami akan dipenjarakan, seperti sebuah pertunjukan, dan kemudian dibebaskan. Tapi sebaliknya, semua teman-teman saya dieksekusi. Saya juga akan dieksekusi, jika saya tidak kabur.”
Ruangan itu berubah menjadi gumaman gelisah yang panjang.
“Dan ke manakah mereka membawa pedang itu?” desak komandan.
“Saya tidak tahu. Di suatu tempat jauh di dalam Kekaisaran.”
“Dan siapakah yang memerintahkan hal semacam itu?”
“Dia!” kata berandalan itu, tiba-tiba berpaling dan mengacungkan telunjuknya pada Gareth. “Raja kita! Dia memerintahkan kami untuk melakukan hal itu!”
Ruangan itu pecah menjadi gumaman ngeri, muncullah seruan, sampai akhirnya seorang anggota dewan memukulkan tongkat besi beberapa kali dan berteriak menyuruh diam.
Ruangan itu terdiam, tapi nyaris sunyi.
Gareth, sudah gemetar takut dan marah, berdiri perlahan-lahan dari singgasanaya, dan ruangan itu hening, saat semua mata tertuju padanya.
Satu demi satu langkah, Gareth menuruni anak tangga berwarna gading, langkah kakinya bergema, keheningan begitu pekat sehingga seseorang bisa memotongnya dengan sebilah pisau.
Ia menyeberangi ruangan itu, sampai akhirnya ia mencapai berandalan itu. Dia menatapnya dengan dingin, dari jarak satu kaki, pria itu menggeliat di dalam lengan komandan, melihat ke segala arah selain dirinya.
“Pencuri dan pembohong hanya berurusan dengan satu cara di kerajaanku,” ujar Gareth lembut.
Gareth tiba-tiba menarik sebilah belati dari pinggangnya dan menikamkannya ke jantung berandalan itu.
Pria itu berteriak kesakitan, matanya terbelalak, kemudian tiba-tiba merosot jatuh ke lantai, mati.
Komandan itu menatap Gareth, dengan tatapan mencemooh.
“Anda baru saja membunuh seorang saksi yang melawan Anda,” ujar komandan itu. “Tidakkah Anda menyadari bahwa hal itu hanya akan mendukung secara tak langsung terhadap kesalahan Anda?”
“Saksi apa?” Gareth bertanya, tersenyum. “Orang mati tidak berbicara.”
Komandan itu memerah.
“Seandainya Anda lupa, saya adalah komandan dari setengah pasukan Raja. Saya tidak akan bermain-main. Dari tindakan Anda, saya hanya bisa menduga bahwa Anda bersalah atas kejahatan yang dia tuduhkan kepada Anda. Sehingga, saya dan pasukan saya tidak akan mengabdi kepada Anda lagi. Malahan, saya akan membawa Anda ke dalam tahanan, menghukum Anda atas pengkhinatan terhadap Cincin!”
Komandan itu mengangguk kepada prajuritnya, dan bersama-sama, beberapa lusin prajurit menghunuskan pedang mereka dan melangkah maju untuk menahan Gareth.
Lord Kutlin melangkah maju dengan dua kali lipat jumlah prajuritnya, semua menghunuskan pedang mereka dan berjalan di belakang Gareth.
Mereka berdiri di sana berhadapan dengan prajurit komandan, Gareth di tengah-tengah.
Gareth tersenyum menang ke arah komandan itu. Prajuritnya kalah jumlah oleh pasukan petarung Gareth, dan dia tahu itu.
“Saya tidak akan pergi ke dalam tahanan siapa pun,” Gareth mencemooh. “Dan pastinya bukan dengan tanganmu. Bawalah prajuritmu dan pergilah dari istanaku – atau temuilah kemurkaan pasukan petarung pribadiku.”
Setelah beberapa detik ketegangan, komandan itu akhirnya berbalik dan memberi isyarat kepada prajuritnya, dan bersama-sama, mereka semua mundur, berjalan dengan hati-hati ke arah belakang, pedang-pedang terhunus, dari ruangan itu.
“Mulai hari ini dan seterusnya,” komandan itu menggelegar, “biarlah diketahui bahwa kami tidak lagi mengabdi kepada Anda! Anda akan menghadapi pasukan Kekaisaran sendirian. Saya harap mereka memperlakukan Anda dengan baik. Lebih baik dari Anda memperlakukan ayah Anda!”
Para prajurit itu segera keluar dari ruangan, dengan dentang baju besi yang keras.
Lusinan anggota dewan, pengawal, dan bangsawan yang tetap berdiri di dalam keheningan, berbisik.
“Tinggalkan aku!” Gareth berteriak. “KALIAN SEMUA!”
Semua orang yang tersisa di dalam ruangan itu segera pergi, termasuk pasukan penyerang Gareth sendiri.
Hanya satu orang yang tetap tinggal, berlama-lama di belakang yang lain.
Lord Kutlin.
Hanya dia dan Gareth saja di dalam ruangan itu. Dia berjalan bersama Gareth, berhenti beberapa kaki, dan mengamatinya, seolah-olah menaksirnya. Seperti biasanya, wajahnya tanpa ekspresi. Itu adalah wajah yang sebenarnya dari tentara bayaran.
“Saya tidak peduli dengan apa yang Anda lakukan atau mengapa,” dia memulai, suaranya parau dan muram. “Saya tidak peduli dengan politik Anda. Saya seorang petarung. Saya hanya peduli dengan uang yang Anda bayarkan kepada saya dan orang-orang saya.”
Dia berhenti sejenak.
“Tapi saya ingin tahu, untuk kepuasan pribadi saya: apakah Anda benar-benar memerintahkan orang-orang itu untuk membawa pergi pedang itu?”
Gareth balas menatap pria itu. Ada sesuatu di matanya yang ia kenali dalam dirinya sendiri: itu adalah dingin, kejam, oportunis.
“Dan jika aku melakukannya?: Gareth balas bertanya.
Lord Kutlin balas menatapnya untuk waktu yang lama.
“Tapi kenapa?” tanyanya.
Gareth balas menatapnya, diam.
Mata Kutlin melebar memahaminya.
“Anda tak bisa mencabutnya, maka tak seorang pun bisa?” tanya Kutlin. “Benarkah begitu?” Dia mempertimbangkan hasilnya. “Tapi jika demikian,” Kutlin menambahkan, “pastikan Anda tahu bahwa dengan membawanya pergi akan menurunkan perisainya, membuat kita rentan terhadap serangan.”
Mata Kutlin terbuka lebar.
“Anda ingin kita untuk diserang, begitu? Sesuatu dalam diri Anda ingin Istana Raja hancur,” ujarnya tiba-tiba sadar.
Gareth balas tersenyum.
“Tidak semua tempat,” ujar Gareth perlahan, “ditakdirkan untuk bertahan selamanya.”