Читать книгу Penjelmaan - Морган Райс, Morgan Rice - Страница 11
Bab Satu
ОглавлениеCaitlin Paine selalu ketakutan hari pertamanya di sekolah yang baru. Ada hal-hal besar, seperti bertemu teman-teman baru, guru-guru baru, mempelajari aula yang baru. Dan ada hal-hal kecil, seperti mendapatkan sebuah loker baru, bebauan tempat yang baru, suara-suara yang terdengar. Lebih dari segalanya, ia takut terhadap tatapan. Ia merasa bahwa setiap orang di tempat baru selalu menatapnya. Yang ia inginkan hanyalah anonimitas. Tapi tampaknya itu tidak akan pernah terwujud.
Caitlin tidak dapat memahami mengapa ia sangat mencolok. Dengan tinggi 5,5 kaki ia tidak benar-benar tinggi, dan dengan rambut coklat dan mata coklatnya (dan berat yang normal), ia merasakan bahwa ia biasa saja. Pastinya tidak cantik, seperti cewek-cewek lainnya. Pada usia 18, ia sedikit lebih tua, tapi tidak cukup untuk membuatnya menonjol.
Ada sesuatu hal yang lain. Ada sesuatu tentang dirinya yang membuat orang-orang meilhat dua kali. Ia tahu, dalam hatinya, bahwa ia berbeda. Tapi ia tidak yakin apa itu.
Jika ada sesuatu hal yang lebih buruk ketimbang hari pertama, itu dimulai pada tengah semester, setelah orang lain punya waktu untuk menjalin ikatan. Hari ini, hari pertama ini, di pertengahan Maret, akan menjadi salah satu yang terburuk. Ia sudah bisa merasakannya.
Dalam imajinasi terliarnya, bagaimana pun juga, ia tidak pernah berpikiran akan seburuk ini. Tidak ada yang pernah ia lihat - dan sering ia lihat - telah mempersiapkan dirinya untuk ini.
Caitlin berdiri di luar sekolah barunya, sekolah umum Kota New York yang sangat luas, di pagi hari bulan Maret yang sangat dingin, dan bertanya-tanya, Kenapa aku? Cara berpakaiannya tidak menarik, hanya dalam sweater dan legging, dan bahkan tidak menyiapkan diri sebelumnya untuk keributan berisik yang menyambutnya. Ratusan remaja berdiri di sana, berteriak-teriak, menjerit, dan mendorong satu sama lain. Itu terlihat seperti sebuah halaman penjara.
Itu semua terlalu bising. Remaja-remaja ini tertawa terlalu kencang, mengumpat terlalu sering, mendorong satu sama lain terlalu keras. Ia akan berpikir itu adalah sebuah perkelahian besar jika ia tidak melihat beberapa senyum dan tawa mengejek. Mereka memiliki terlalu banyak energi, dan ia, lelah, kedinginan, kurang tidur, tidak bisa memahami dari mana energi itu datang. Ia menutup matanya dan berharap itu semua akan pergi.
Ia merogoh sakunya dan merasakan sesuatu: ipod-nya. Ya. Ia mengenakan headphone di telinganya dan menyalakannya. Ia harus menenggelamkan itu semua.
Tapi tidak ada yang datang. Ia memandang ke bawah dan melihat baterainya mati. Sempurna.
Ia memeriksa ponselnya, berharap akan adanya pengalih perhatian, apapun itu. Tidak ada pesan baru.
Ia mendongak. Mengamati lautan wajah baru, ia merasa sendirian. Tidak karena ia adalah satu-satunya cewek berkulit putih - ia sebenarnya lebih memilih hal itu. Beberapa teman-teman terdekatnya di sekolah lain berkulit hitam, berdarah Spanyol, Asia, India - dan beberapa dari musuh dalam selimutnya berkulit putih. Tidak, bukan itu. Ia merasa sendirian karena ini adalah kota. Ia berdiri di tengah-tengah beton. Sebuah bel nyaring telah berdering untuk mengizinkan ia masuk menuju "daerah rekreasi" ini, dan ia telah melewati melalui gerbang logam yang besar. Sekarang ia sudah masuk - terkurung oleh gerbang logam besar, diatapi oleh kawat berduri. Ia merasa seperti pergi menuju penjara.
Memandangi sekolah yang sangat besar, bar dan kurungan di semua jendela, tidak membuatnya merasa lebih baik. Ia selalu beradaptasi dengan mudah di sekolah barunya, besar dan kecil - tapi itu semua ada di pinggir kota. Mereka memiliki semua rerumputan, pepohonan, langit. Di sini, tidak ada hal lain selain kota. Ia merasa ia tidak dapat bernapas. Hal itu membuatnya ngeri.
Bel lain keras terdengar dan ia beringsut berjalan, bersama ratusan anak-anak, menuju pintu masuk. Ia terdesak secara kasar oleh seorang gadis besar, dan menjatuhkan buku hariannya. Ia mengambilnya (mengacaukan rambutnya), dan kemudian mendongak untuk melihat apakah gadis itu akan meminta maaf. Tapi ia tidak terlihat, karena telah melanjutkan perjalanan ke dalam kerumunan. Ia mendengar tawa, tapi tidak tahu apakah itu ditujukan padanya.
Ia mencengkeram buku hariannya, satu hal yang membuatnya bertahan. Buku itu telah berada bersamanya ke mana saja. Ia menyimpan catatan dan gambar pada setiap tempat yang ia kunjungi. Itu adalah sebuah peta perjalanan masa kanak-kanaknya.
Ia akhirnya mencapai pintu masuk, dan harus mendesak hanya untuk berjalan melewatinya. Rasanya seperti memasuki kereta pada jam sibuk. Ia berharap akan menjadi hangat ketika ia ada di dalam, tapi pintu terbuka di berlakangnya tetap meniupkan angin kencang ke punggungnya, membuat semakin dingin lagi.
Dua penjaga keamanan besar berdiri di pintu masuk, diapit oleh dua polisi New York City, seragam lengkap, senjata mencolok di sisi mereka.
"JALAN TERUS!" perintah salah satu dari mereka.
Ia tidak dapat mengerti mengapa kedua polisi bersenjata harus menjaga pintu masuk sebuah sekolah tinggi. Perasaan takutnya semakin besar. Perasaan itu lebih buruk ketika ia mendongak dan melihat bahwa ia harus melewati detektor lohan dengan keamanan bergaya bandara.
Empat polisi bersenjata lainnya di sisi lain detektor, bersama dengan dua penjaga keamanan lainnya.
"KOSONGKAN KANTONGMU!" bentak seorang petugas.
Caitlin memperhatikan remaja lain mengisi wadah plastik kecil dengan barang-barang dari saku mereka. Ia segera melakukan hal yang sama, memasukkan ipod, dompet, kunci-kuncinya.
Ia beringsut melalui detektor, dan sirene melengking.
"KAU!" bentak seorang petugas. "Minggir!"
Tentu saja.
Semua remaja memandanginya saat ia mengangkat tangannya, dan petugas itu mengarahkan pemindai genggam ke bagian atas dan bawah tubuhnya.
"Apakah kau mengenakan perhiasan?"
Ia meraba pergelangan tangannya, lalu garis lehernya, dan tiba-tiba teringat. Salibnya.
"Lepaskan," bentak petugas itu.
Itu adalah kalung nenek yang diberikan padanya sebelum beliau meninggal, salib kecil perak yang diukir dengan kata-kata dalam bahasa Latin yang tidak pernah beliau terjemahkan. Neneknya mengatakan itu adalah diwariskan oleh nenek beliau. Caitlin tidak terlalu religius, dan tidak benar-benar memahami apa makna semua itu, tapi ia tahu benda itu umurnya ratusan tahun, dan itu adalah benda miliknya yang sangat berharga.
Caitlin mengangkatnya dari bajunya, mengacungkannya, tapi tidak melepasnya.
"Saya lebih suka tidak melakukannya," jawabnya.
Petugas itu memandanginya, dengan tatapan sedingin es.
Tiba-tiba, terjadi keributan. Ada jeritan ketika seorang polisi mencengkram seorang remaja tinggi kurus dan mendorongnya ke dinding, mengeluarkan pisau kecil dari sakunya.
Panjaga itu pergi untuk membantu, dan Caitlin mempergunakan kesempatan itu untuk menyelusup dalam kerumunan yang bergerak menuju aula.
Selamat datang di sekolah umum New York, pikir Caitlin. Bagus.
Ia sudah menghitung hari-hari menuju kelulusannya.
*
Aula itu adalah aula paling luas yang pernah ia lihat. Ia tidak bisa membayangkan bahwa mereka akan dapat memenuhinya, tapi entah bagaimana mereka benar-benar memadatinya, dengan semua remaja yang berdesakan bahu ke bahu. Pasti ada ribuan remaja dalam aula ini, lautan wajah meregang tanpa akhir. Kebisingan di sini bahkan lebih parah, memantul di dinding, semakin pekat. Ia ingin menutup telinganya. Tapi ia bahkan tidak punya ruang bagi sikunya untuk mengangkat lengannya. Ia merasa klaustrafobia.
Lonceng berbunyi, dan energi itu bertambah.
Sudah terlambat.
Ia mencari-cari ruangan di kartunya lagi dan akhirnya menemukan ruangan itu di kejauhan. Ia mencoba untuk menyeruak di antara lautan tubuh, tapi tidak dapat menuju ke mana pun. Akhirnya, setelah beberapa kali berusaha, ia menyadari bahwa ia harus lebih agresif. Ia mulai menyikut dan mendesak. Satu tubuh pada satu waktu, ia memotong melewati semua remaja, menyeberangi aula yang luas, dan mendorong pintu berat supaya terbuka ke kelasnya.
Ia memberanikan diri atas semua pandangan karena ia, cewek baru, masuk terlambat. Ia membayangkan guru menyemprotnya karena mengganggu ruangan yang sunyi. Tapi ia terkejut menemukan bahwa itu tidak seperti bayangannya sama sekali. Ruangan ini, dirancang untuk 30 remaja tapi memuat 50, berdesakan. Beberapa remaja duduk di bangku mereka, dan yang lainnya berjalan di lorong, berseru dan berteriak satu sama lain. Ini adalah kekacauan.
Bel sudah berbunyi lima menit yang lalu, tapi guru itu, tidak rapi, mengenakan setelan kusut, bahkan belum memulai mengajar. Dia sebenarnya duduk dengan menaikkan kakinya di meja, membaca koran, mengabaikan siapa saja.
Caitlin berjalan mendekatinya dan meletakkan kartu identitas barunya di meja. Ia berdiri di sana dan menunggu dirinya untuk mendongak, tapi dia tidak melakukannya.
Ia akhirnya menelan ludah.
"Permisi."
Dia menurunkan korannya dengan enggan.
"Saya Caitlin Paine. Saya murid baru. Saya rasa saya harus memberikan ini pada Anda."
"Saya hanya guru pengganti," jawabnya, dan mengangkat korannya, menghalanginya.
Ia berdiri di sana, bingung.
"Jadi," ia bertanya, "....Anda tidak mengabsen?"
"Gurumu kembali di hari Senin," bentaknya. "Dia yang akan menanganinya."
Menyadari percakapan itu sudah selesai, Caitlin mengambil kembali kartu identitasnya.
Ia berbalik dan menghadapi ruangan itu. Kekacauan itu tidak berhenti. Jika ada anugerah yang menyelamatkan, setidaknya ia tidak mencolok. Tidak ada seorang pun di sini tampaknya peduli padanya, atau bahkan melihatnya sama sekali.
Di samping itu, mengamati ruangan penuh sesak benar-benar meruntuhkan syaraf: nampaknya tidak ada tempat tersisa untuk duduk.
Ia menguatkan dirinya dan; mencengkram buku hariannya, berjalan saat itu menuju lorong, mundur beberapa kali ketika ia berjalan di antara remaja-remaja nakal yang saling berteriak. Ketika ia sampai di belakang, ia akhirnya bisa melihat seluruh ruangan.
Tidak ada bangku kosong.
Ia berdiri di sana, merasa seperti orang bodoh, dan merasa para remaja lain mulai memperhatikan dirinya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia pasti tidak akan berdiri di sana sepanjang waktu, dan guru pengganti itu tidak nampak peduli sama sekali. Ia menoleh dan mencari lagi, mengamati dengan tidak berdaya.
Ia mendengar tawa dari beberapa lorong jauhnya, dan merasa yakin itu ditujukan padanya. Ia tidak berpakaian seperti para remaja ini, dan ia tidak terlihat seperti mereka. Pipinya memerah ketika ia mulai merasa benar-benar mencolok.
Tepat ketika ia bersiap-siap untuk keluar daru kelas itu, dan bahkan mungkin keluar dari sekolah ini, ia mendengar sebuah suara.
"Di sini."
Ia berbalik.
Di baris terakhir, di samping jendela, seorang remaja jangkung berdiri dari mejanya.
"Duduk," katanya. "Silahkan."
Ruangan itu agak sunyi ketika yang lainnya menunggu untuk melihat bagaimana ia akan bereaksi.
Ia berjalan ke arahnya. Ia mencoba untuk tidak memandang matanya - mata hijau besar yang bercahaya - tapi ia tidak bisa menahannya.
Dia ganteng. Ia memiliki kulit kuning langsat yang halus - ia tidak bisa mengatakan apakah dia Hitam, Spanyol, Putih, atau beberapa kombinasi - tapi ia tidak pernah melihat kulit halus dan lembut seperti itu, dilengkapi dengan garis rahang yang kaku. Rambutnya pendek dan berwarna coklat, dan tubuhnya kurus. Ada sesuatu tentang dirinya, sesuatu yang sangat tidak pada tempatnya. Dia kelihatan rapuh. Seorang seniman, mungkin.
Itu tidak seperti dirinya untuk terpesona dengan seorang laki-laki. Ia pernah melihat teman-temannya jatuh cinta, tapi ia tidak pernah benar-benar mengerti. Sampai saat ini.
"Di mana kau akan duduk?" tanyanya.
Ia mencoba mengendalikan suaranya, tapi tidak terdengar meyakinkan. Ia berharap dia bisa mendengar betapa gugupnya ia.
Ia tersenyum lebar, memperlihatkan gigi yang sempurna.
"Di sebelah sini," katanya, dan pindah ke kusen jendela besar, hanya beberapa kaki jauhnya.
Ia memandanginya, dan dia balas memandang padanya, mata mereka benar-benar tertambat. Ia mengatakan pada dirinya sendiri untuk memalingkan muka, tapi ia tidak bisa melakukannya.
"Terima kasih," ujarnya, dan dengan segera marah pada dirinya sendiri.
Terima kasih? Hanya itu saja yang kau bisa? Terima kasih!?
"Betul itu, Barrack!" teriak sebuah suara. "Berikan bangkumu cewek putih yang manis itu!"
Tawa mengikuti, dan kebisingan dalam ruangan itu tiba-tiba mulai lagi, sebagaimana setiap orang mengabaikan mereka lagi.
Caitlin melihatnya menundukkan kepalanya, malu.
"Barrack?" tanyanya. "Apakah itu namamu?"
"Tidak," jawabnya, wajahnya memerah. "Itu hanya bagaimana mereka memanggilku. Seperti pada Obama. Mereka kira aku seperti beliau."
Ia menatapnya dengan saksama dan menyadari bahwa ia memang seperti Obama.
"Itu karena aku separuh kulit hitam, sebagian kulit putih, dan sebagian dari Puerto Rico."
"Hm, aku kira itu pujian," katanya.
"Bukan dengan cara mereka mengatakannya," jawabnya.
Ia mengamati ketika dia duduk di kusen jendela, rasa percaya dirinya mengempis, dan ia bisa menyimpulkan bahwa dia orang yang sensitif. Bahkan rapuh. Dia bukan merupakan bagian kelompok remaja ini. Itu adalah hal yang gila, tapi ia hampir merasa protektif terhadap dia.
"Aku Caitlin," katanya, mengulurkan tangannya dan menatap matanya.
Ia mendongak, terkejut, dan senyumnya kembali.
"Jonah," jawabnya.
Ia menjabat tangannya dengan erat. Sensasi menggelitik menjalari lengannya saat ia merasakan kulit lembutnya menggenggam tanganya. Ia merasa meleleh ke dalam dirinya. Dia menahan genggaman tangannya beberapa detik lamanya, dan ia tidak dapat menahan untuk balas tersenyum.
*
Sisa pagi itu sudah kabur, dan Caitlin lapar pada saat ia sampai di kafetaria. Ia membuka pintu ganda dan terperangah oleh ruangan yang besar, kebisingan luar biasa atas apa yang nampaknya seperti ribuan remaja, semua berteriak. Itu seperti memasuki pusat kebugaran. Kecuali bahwa setiap dua puluh kaki di sana berdiri petugas keamanan, di lorong-lorong, mengamati dengan saksama.
Seperti biasanya, ia tidak punya gagasan ke mana harus pergi. Ia mencari-cari di ruangan besar itu, dan akhirnya menemukan sebuah tumpukan nampan. Ia mengambil satu, dan memasuki apa yang ia kira sebagai antrian makanan.
"Jangan memotongku, menyebalkan!"
Caitlin berbalik dan melihat seorang perempuan besar yang gemuk, setengah kaki lebih tinggi darinya, memandang dengan marah.
"Maafkan aku, aku tidak tahu-"
"Antrian di belakang sana!" bentak cewek lain, menunjuk dengan ibu jarinya.
Caitlin mencari dan melihat antrian itu memanjang paling tidak seratus remaja. Itu terlihat seperti antrian selama dua puluh menit.
Saat ia mulai menuju ke belakang antrian, seorang remaja di antrian mendorong yang lain, dan dia melayang di depannya, menubruk lantai dengan keras.
Remaja pertama melompat di atas yang lain dan mulai meninju wajahnya.
Kafetaria itu meledak dalam raungan kehebohan, ketika lusinan remaja berkumpul berkeliling.
"LAWAN! LAWAN!"
Caitlin mengambil beberapa langkah mundur, menyaksikan dalam kengerian pada peristiwa kejam di kakinya.
Empat petugas keamanan akhirnya datang dan melerai mereka, memisahkan dua remaja berlumuran darah dan menyeret mereka. Mereka tidak nampak terlihat tergesa-gesa.
Setelah Caitlin akhirnya mendapat makanan, ia memandang ke sekeliling ruangan, berharap ada tanda-tanda Jonah. Tapi ia tidak kelihatan di mana pun.
Ia berjalan di lorong, melewati meja demi meja, semua dipenuhi dengan remaja. Ada beberapa bangku kosong, dan satu-satunya yang kosong tidak nampak mengundang, bersebelahan dengan kumpulan teman yang besar.
Akhirnya, ia mengambil tempat duduk di sebuah meja kosong mengarah ke belakang. Hanya ada satu remaja sangat jauh di ujungnya, remaja laki-laki Tiongkok pendek yang lemah dengan sumpit, berpakaian dengan buruk, yang tetap menundukkan kepalanya dan berfokus pada makanannya.
Ia merasa sendirian. Ia memandang ke bawah dan memeriksa ponselnya. Ada beberapa pesan Facebook dari teman-temannya di kota tempat tinggal terakhirnya. Mereka ingin mengetahui apakah ia menyukai tempat barunya. Entah kenapa, ia merasa tidak ingin menjawabnya. Mereka terasa sangat jauh.
Caitlin nyaris tidak makan, sebuah muak hari pertama yang samar masih menghinggapinya. Ia mencoba merubah rentetan pikirannya. Ia menutup matanya. Ia memikirkan apartemen barunya, naik lima lantai dalam sebuah bangunan dekil di jalan no. 132. Rasa mualnya semakin parah. Ia menarik napas dalam-dalam, menyuruh dirinya untuk berfokus pada sesuatu, sesuatu yang bagus dalam hidupnya.
Adik laki-lakinya. Sam. 14, akan menjadi 20. Sam tidak pernah terlihat ingat bahwa dia adalah adiknya: dia selalu bertingkah seperti kakak laki-lakinya. Dia tumbuh tabah dan kuat dari semua kepindahan, dari kepergian Ayah mereka, dari cara Ibu mereka memperlakukan mereka berdua. Ia bisa melihat hal itu semakin mendekati dia dan bisa melihat bahwa dia mulai menutup dirinya. Seringnya perkelahian sekolah dia tidaklah mengejutkannya. Ia takut itu hanya akan menjadi lebih buruk.
Tapi ketika berhubungan dengan Caitlin, Sam sangat menyayanginya. Dan ia juga menyayanginya. Dia adalah satu-satunya hal yang kosntan dalam hidupnya, satu-satunya yang bisa ia andalkan. Dia nampaknya menguasai satu titik lembut yang tersisa dalam dunianya. Ia bertekad melakukan yang terbaik untuk melindungi dia.
“Caitlin?”
Ia terlompat.
Berdiri di depannya, dengan baki di satu tangan dan kotak biola di tangan lainnya, adalah Jonah.
"Bolehkah aku bergabung denganmu?"
"Ya - maksudku tidak," katanya, salah tingkah.
Bodoh, pikirnya. Berhentilah bertingkah begitu gugup.
Jonah menyunggingkan senyumnya, lalu duduk di depan Caitlin. Dia duduk tegak, dengan postur tubuh yang sempurna, dan meletakkan biolanya dengan hati-hati di sisinya. Dia meletakkan makanannya dengan perlahan. Ada sesuatu tentang dirinya, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan. Dia berbeda dari siapa pun yang pernah is jumpai. Sepertinya dia berasal dari jaman yang berbeda. Dia benar-benar tidak berasal di tempat ini.
"Bagaimana hari pertamamu?" tanya Jonah.
"Tidak seperti yang kuharapkan."
"Aku tahu apa yang kamu maksud," kata Jonah.
"Apakah itu sebuah biola?"
Ia mengangguk pada instrumennya. Dia tetap menutupnya, dan tetap meletakkan satu tangan di atasnya, seolah-olah takut seseorang mungkin mencurinya.
"Ini sebenarnya adalah biola alto. Ini hanya sedikit lebih besar, tapi suaranya sangat berbeda. Lebih mellow."
Ia tidak pernah melihat sebuah biola alto, dan berharap dia akan meletakkannya di meja dan menunjukkan padanya. Tapi dia tidak melakukan apa-apa, dan ia tidak ingin mengungkitnya. Ia masih meletakkan tangan di atasnya, dan dia nampaknya melindungi benda itu, seperti layaknya benda yang personal dan pribadi.
"Apakah kau sering berlatih?"
Jonah mengangkat bahu. "Beberapa jam sehari," jawabnya sambil lalu.
"Beberapa jam!? Kau pasti hebat!"
Dia mengangkat bahu lagi. "Aku oke, sepertinya. Ada banyak pemain biola yang sangat lebih bagus dariku. Tapi aku berharap ini adalah tiketku untuk keluar dari tempat ini."
"Aku selalu ingin bermain piani," kata Caitlin.
"Kenapa tidak?"
Ia akan berkata, aku tidak pernah punya piano, tapi ia menghentikan dirinya sendiri. Sebaliknya, ia mengangkat bahu dan kembali pada makanannya.
"Kau tidak perlu memiliki sebuah piano," kata Jonah.
Ia mendongak, terkejut bahwa ia dapat membaca pikirannya.
"Ada ruang latihan di sekolah ini. Untuk semua hal jelek yang ada di sini, paling tidak itulah hal baiknya. Mereka akan memberimu pelajaran dengan gratis. Yang perlu kau lakukan hanya mendaftar."
Mata Caitlin melebar.
"Sungguh?"
"Ada lembar pendaftaran di luar ruang musik. Mintalah bertemu Ibu Lennox. Katakan pada beliau kau adalah temanku."
Teman. Caitlin menyukai bunyi kata itu. Ia perlahan-lahan merasakan suatu kegemburaan yang muncul di dalam dirinya.
Ia tersenyum lebar. Mata mereka bertemu selama sekejap.
Kembali memandangi mata hijaunya yang bercahaya, ia terbakar oleh keinginan untuk menanyakan jutaan pertanyaan: Apa kau punya pacar? Mengapa kau sangat baik? Apa kau benar-benar menyukaiku?
Tapi, sebaliknya, ia menggigit lidahnya dan tidak mengatakan apapun.
Takut bahwa waktu mereka bersama akan segera habis, ia memindai otaknya atas sesuatu untuk ditanyakan pada dia yang akan memperpanjang percakapan mereka. Ia mencoba untuk memikirkan sesuatu yang akan memastikan bahwa ia akan dapat menemuinya lagi. Tapi ia merasa gugup dan membeku.
Ia akhirnya membuka mulutnya, dan ketika ia melakukannya, lonceng berdentang.
Ruangan itu meledak menjadi riuh dan bergerak, dan Jonah berdiri, meraih biola altonya.
"Aku terlambat," katanya, meraih bakinya.
Dia melihat ke arah baki Caitlin. "Bolehkah aku membawa bakimu?"
Ia menunduk, menyadari bahwa ia melupakannya, dan menganggukkan kepalanya.
"Oke," kata Jonah.
Ia berdiri di sana, tiba-tiba malu, tidak tahu apa yang harus dikatakan.
"Hmm...sampai ketemu lagi."
"Sampai ketemu lagi," jawab Caitlin dengan lemah, suaranya hampir-hampir menyeruapi bisikan.
*
Hari pertama sekolah selesai, Caitlin keluar dari bangunan itu menuju ke siang hari bulan Maret yang cerah. Meskipun bertiup angin kencang, ia tidak lagi merasa dingin. Meskipun semua remaja di sekelilingnya berteriak ketika mereka mengalir keluar, ia tidak lagi merasa terganggu oleh kebisingan itu. Ia merasa hidup, dan bebas. Sisa hari itu telah berjalan secara samar-samar; ia bahkan tidak bisa mengingat satu saja nama guru baru.
Ia tidak dapat berhenti memikirkan Jonah.
Ia bertanya-tanya apakah ia telah bertingkah seperti orang bodoh di kafetaria itu. Ia telah tersandung oleh kata-katanya; ia bahkan nyaris tidak menanyakan apapun. Yang bisa ia pikirkan hanya menanyakan tentang biola altonya yang bodoh. Ia harusnya menanyakan di mana dia tinggal, dari mana dia berasal, ke mana dia mendaftar kuliah.
Yang paling penting, apakah dia memiliki seorang pacar. Seseorang seperti dia seharusnya mengencani seseorang.
Tepat pada saat itu, seorang remaja perempuan Hispanik cantik yang berpakaian dengan bagus tersenggol olah Caitlin. Caitlin memandanginya dari atas ke bawah ketika ia lewat, dan bertanya-tanya selama sedetik apakah itu adalah pacarnya.
Caitlin berbelok ke jalan no. 134, dan selama sedetik, melupakan ke mana ia akan pergi. Ia tidak pernah berjalan kaki pulang dari sekolah sebelumnya, dan selama beberapa saat, ia sama sekali tupa di mana apartemen barunya. Ia berdiri di sana di pojokan, bingung. Sebuah awan menutupi matahari dan angin kencang berhembus, dan ia tiba-tiba merasa dingin lagi.
"Hei, amiga!"
Caitlin berbalik, dan menyadari ia berdiri di depan kios dekil di pojokan. Empat pria lusuh duduk di kursi plastik di depannya, tampaknya tidak menyadari hawa dingin, menyeringai pada Caitlin seolah-olah ia adalah santapan selanjutnya.
"Ayo ke sini, sayang!" teriak yang lainnya.
Ia ingat.
Jalan no. 132. Itu dia.
Ia berbelok dengan cepat dan berjalan dengan cepat menyusuri sisi jalan lainnya. Ia memeriksa di belakang bahunya beberapa kali untuk melihat apakah pria-pria itu mengikutinya. Untungnya, tidak.
Angin dingin menyengat pipinya dan menyadarkannya, ketika kenyataan kejam terhadap lingkungan sekitarnya mulai tenggelam. Ia memandang sekeliling pada mobil-mobil yang ditinggalkan, dinding-dinding bergrafiti, kawat berduri, bar-bar di semua jendela, dan ia tiba-tiba merasa sendirian. Dan sangat takut.
Hanya tinggal 3 blok lagi menuju apartemennya, tapi lamanya terasa seperti seumur hidupnya. Ia berharap ia memiliki teman di sisinya - lebih baik lagi, Jonah - dan ia bertanya-tanya apakah ia bisa menjalani perjalanan ini sendirian setiap hari. Sekali lagi, ia merasa kesal pada Ibunya. Bagaimana bisa dia selalu memindahkannya, selalu menempatkan Caitlin di tempat baru yang ia benci? Kapankah hal itu akan berakhir?
Ada kaca pecah.
Jantung Caitlin berdegup lebih cepat ketika ia melihat sejumlah aktivitas jauh di sebelah kiri, di sisi lain jalan itu. Ia berjalan dengan cepat dan mencoba untuk tetap menundukkan kepalanya, tapi saat ia semakin dekat, ia mendengar teriakan dan tawa aneh, dan ia tidak menahan untuk memperhatikan apa yang terjadi.
Empat remaja bertubuh besar - 18 atau 19, mungkin - berdiri di depan remaja lain. Dua dari mereka memegang tangannya, sementara yang ketiga melangkah maju dan meninju perutnya, dan yang keempat melangkah maju dan meninju wajahnya. Remaja itu, mungkin 17 tahun, tinggi, kurus dan tanpa pertahanan, jatuh ke tanah. Kedua remaja laki-laki melangkah ke depan dan menendang wajahnya.
Meskipun sendirian, Caitlin berhenti dan melihatnya. Ia merasa ngeri. Ia tidak pernah melihat hal seperti itu.
Kedua remaja lain mengambil beberapa langkah di sekitar korban mereka, lalu mengangkat sepatu boot mereka tinggi-tinggi dan menendangkannya.
Caitlin takut mereka akan menendang anak itu sampai mati.
"TIDAK!" teriaknya.
Ada suara berderak kesakitan ketika mereka menendangkan kakinya.
Tapi itu bukanlah suara tulang yang patah - melainkan, itu adalah suara kayu. Kayu yang hancur. Caitlin melihat bahwa mereka menginjak-injak sebuah alat musik kecil. Ia melihat lebih dekat, dan melihat potongan dan serpihan sebuah biola alto bercecer di trotoar.
Ia mengangkat tangan ke arah mulutnya dengan perasaan ngeri.
“Jonah!?”
Tanpa berpikir, Caitlin menyebrangi jalan itu, menuju sekumpulan laki-laki, yang sekarang mulai memperhatikannya. Mereka memandanginya dan mata jahat mereka melebar sembari menyikut satu sama lain.
Ia berjalan langsung ke arah korban dan melihat bahwa itu memang Jonah. Wajahnya berdarah dan memar, dan ia pingsan.
Ia memandangi sekumpulan remaja laki-laki itu, kemaharannya mengalahkan ketakutannya, dan berdiri di antara Jonah dan mereka.
"Biarkan dia!" teriaknya pada kelompok remaja itu.
Remaja yang di tengah, paling tidak 64, berotot, membalas dengan tertawa.
"Atau apa?" tanya dia, suaranya sangat dalam.
Caitlin merasakan dunia berlalu cepat, dan menyadari bahwa ia baru saja didorong dengan keras dari belakang. Ia menaikkan sikutnya ketika ia menabrak beton, tapi itu hampir tidak melindungi tabrakannya. Di sudut matanya, ia bisa melihat buku hariannya melayang, kertas-kertasnya berhamburan ke mana-mana.
Ia mendengar tawa. Dan kemudian langkah-langkah kaki, datang ke arahnya.
Jantungnya berdegup dalam dadanya, adrenalinnya muncul. Ia berhasil bergulung dan bersusah-payah berdiri sebelum mereka mencapainya. Ia mengambil langkah seribu di jalan kecil itu, berlari menyelamatkan diri.
Mereka mengikuti di belakangnya.
Di salah satu dari beberapa sekolahnya, kembali Caitlin mengingat bahwa ia akan mempunyai masa depan panjang di suatu tempat, ia mengikuti olahraga lari, dan menyadari ia bagus dalam bidang itu. Yang terbaik dalam tim, sebenarnya. Tidak dalam jarak jauh, tapi dalam lari cepat 100 yard. Ia bahkan bisa berlari lebih cepat dari sebagian besar laki-laki. Dan sekarang, hal itu kembali menyelimutinya.
Ia berlari menyelamatkan hidupnya, dan para laki-laki itu tidak dapat menangkapnya.
Caitlin melirik ke belakang dan melihat seberapa jauhnya mereka di belakang, dan merasa optimis bahwa ia bisa kabur dari mereka semua. Ia hanya harus melakukan belokan yang tepat.
Jalan kecil itu berakhir di sebuah T, dan ia bisa berbelok ke kiri maupun kanan. Ia tidak akan mempunyai waktu untuk merubah keputusannya jika ia ingin mempertahankan kemenangannya, dan ia harus memilih dengan cepat. Ia tidak dapat melihat apa yang ada di sekitar tiap pojokan, sekalipun. Dengan membabi buta, ia berbelok ke kiri.
Ia berdoa semoga itu adalah pilihan yang benar. Ayolah. Kumohon!
Jantungnya berhenti ketika ia melakukan belokan tajam ke kiri dan melihat jalan buntu di depannya.
Salah jalan.
Jalan buntu. Ia berlari ke arah dinding, mencari-cari jalan keluar, apapun itu. Menyadari bahwa tidak ada jalan keluar, ia berbalik untuk menghadapi para penyerang yang mendekatinya.
Terengah-engah, ia menyaksikan mereka berbelok dan mendekat. Ia bisa melihat di belakang bahu mereka bahwa jika ia berbelok ke kanan, ia akan dapat pulang dengan bebas. Tentu saja. Hanya keberuntungan.
"Baiklah, cewek," salah satu dari merka berkata, "kau akan menderita sekarang."
Menyadari bahwa ia tidak mempunyai jalan keluar, mereka berjalan perlahan-lahan ke arahnya, terengah-engah, menyeringai, dan menikmati kekerasan yang akan datang.
Caitlin menutup matanya dan menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba menyakinkan Jonah untuk bangun, muncul di pojokan, terjaga dan penuh tenaga, siap untuk menyelamatkannya. Tapi ia membuka matanya dan dia tidak ada di sana. Hanya para penyerangnya. Semakin mendekat.
Ia membayangkan Ibunya, bagaimana ia membencinya, dari semua tempat yang sudah dia paksakan untuk hidup. Ia memikirkan adiknya Sam. Ia memikirkan bagaimana hidupnya setelah hari ini.
Ia memikirkan seluruh hidupnya, tentang bagaimana ia selama ini diperlakukan, tentang bagaimana tidak seorang pun yang memahami dirinya, tentang bagaimana tidak sesuatu pun menjadi seperti keinginannya. Dan sesuatu berdetak. Entah bagaimana, ia merasa sudah cukup.
Aku tidak layak menerima ini. Aku TIDAK layak menerima ini.
Dan kemudian, tiba-tiba, ia merasakannya.
Itu adalah sebuah gelombang, sesuatu yang tidak seperti apapun yang pernah ia alami. Itu adalah sebuah gelombang kemurkaan, meluap dalam dirinya, membanjiri darahnya. Gelombang itu berpusat dalam perutnya, dan menyebar dari sana. Ia bisa merasakan kakinya menjejak tanah, seolah-olah ia dan beton itu adalah satu, dan bisa merasakan kekuatan terpenting melandanya, merayap melalui pinggangnya, naik ke lengannya, menuju bahunya.
Caitlin mengeluarkan raungan yang mengejutkan dan menakutkan juga bagi dirinya. Ketika remaja pertama mendekatinya dan mendaratkan tangan gempalnya ke pergelangan tangannya, ia menyaksikan tangannya bergerak dengan sendirinya, mencengkram kuat pergelangan tangan penyerangnya dan memutarnya ke belakang pada sudut yang tepat. Wajah remaja itu berkerut terkejut ketika pergelangannya, dan kemudian lengannya, patah menjadi dua.
Dia jatuh berlutut, menjerit.
Ketiga remaja laki-laki lain membelalak dengan terkejut.
Yang bertubuh paling besar dari ketiganya menyerang ke arahnya.
"Kau sia-"
Sebelum dia bisa menyelesaikan, ia lompat ke udara dan menanamkan kedua kakinya tepat di dadanya, mengirimnya terbang ke belakang sekitar sepuluh kaki dan menabrak tumpukan kaleng sampah logam.
Ia terbaring di sana, tidak bergerak.
Kedua remaja lainnya saling memandang, terkejut. Dan sangat ketakutan.
Caitlin melangkah maju, merasakan aliran kekuatan yang tidak manusiawi menjalarinya, dan mendengar dirinya menggeram ketika ia menangkap kedua remaja (masing-masing berukuran dua kali darinya), mengangkat masing-masing dari mereka beberapa kaki di atas tanah menggunakan satu tangan.
Ketika mereka tergantung di udara, ia mengayunkan mereka kembali, lalu mengayunkan mereka bersama-sama, menubrukkan mereka berdua satu sama lain dengan kekuatan yang luar biasa. Mereka berdua jatuh ke tanah.
Caitlin berdiri di sana, bernapas, berbuih dengan kemurkaan.
Semua keempat remaja itu tidak bergerak.
Ia tidak merasa lega. Sebaliknya, ia menginginkan lagi. Lebih banyak remaja untuk dilawan. Lebih banyak tubuh untuk dilempar.
Dan ia menginginkan sesuatu yang lain.
Ia tiba-tiba memiliki pandangan sejernih kristal, dan dapat menyoroti leher mereka, terpajan. Ia bisa melihat sampai dengan sepersepuluh inci, dan ia dapat melihat, dari tempatnya berdiri, pembuluh darah berdenyut pada masing-masing leher itu. Ia ingin menggigit. Untuk makan.
Tidak memahami apa yang terjadi pada dirinya, ia menggoyangkan kepalanya ke belakang dan mengeluarkan pekikan tidak wajar, bergema pada bangunan dan blok itu. Itu adalah pekikan kemenangan, dan kemarahan yang tidak terpenuhi.
Itu adalah jeritan hewan yang menginginkan lebih banyak.