Читать книгу Stres Dan Trauma Di Masa Pandemi - Juan Moisés De La Serna, Dr. Juan Moisés De La Serna, Paul Valent - Страница 7

Bab I. Macam-macam Situasi stres dan trauma - bencana, perang, Holocaust, dll.

Оглавление

Paul Valent

Pandemi COVID-19 muncul di awal tahun 2020. Pada awalnya kita mengira, virus corona lain, tidak lebih buruk dari demam dan influenza lainnya, sehingga kita berharap dan menyangkal. Sampai itu akhirnya melanda kita, kemudian kita hitung jumlah orang yang terinfeksi dan mati.

Kita tidak familiar dengan pandemi. Bagaimana pendapat orang-orang tentang hal ini? Apakah pandemi itu seperti bencana alam? Atau apakah itu penyakit seperti penyakit-penyakit lainnya, di mana beberapa meninggal dan yang lain berhasil selamat atau ditinggalkan berduka? Apakah itu seperti infiltrasi oleh musuh yang tidak terlihat? Ataukah pandemi seperti wabah yang berhubungan dengan alkitab, seiring dengan lebih seringnya kebakaran, badai, dan banjir, menghukum dunia yang tamak?

Wajar untuk mencoba mengkonseptualisasikan bahaya asing ini berdasarkan apa yang sudah kita ketahui. Wajar juga untuk mengisi kekurangan data ilmiah yang ada dengan pemikiran magis.

Dalam bab ini kita akan melihat keadaan-keadaan lain dengan ancaman terhadap kehidupan yang meluas dan melihat bagaimana ciri-ciri mereka saling tumpang tindih dan menjelaskan krisis saat ini.

Kematian akibat lalu lintas

Sekitar 40.000 orang meninggal karena kecelakaan lalu lintas di AS setiap tahun, dan sekitar 1,25 juta meninggal di seluruh dunia. Selain itu, 50.000.000 mengalami luka parah di seluruh dunia. Dalam arti tertentu, kematian lalu lintas bisa dikatakan pandemi kronis tingkat rendah.

Kematian akibat lalu lintas adalah contoh utama dari pengelakan dan penghinaan aspek psikologis dari bencana. Berdasarkan sejarah, korban yang mengeluh kesakitan akan disebut neuro kompensasi, sementara faktor psikologis yang menyebabkan kecelakaan hampir sepenuhnya diabaikan.

Faktanya, pemeriksaan yang mendalam terhadap korban dan pelaku kejahatan mengungkapkan berbagai macam disfungsi fisik, psikologis, dan sosial (Valent, 2007).

Bencana alam

Bencana alam seperti kebakaran, banjir, dan gempa bumi biasanya merupakan peristiwa jangka pendek terbatas yang tidak mengancam penduduk lainnya. Bantuan dari luar mengalir dengan cepat untuk membantu para korban.

Bencana merupakan situasi traumatis massal yang mungkin paling banyak dipelajari secara ilmiah. Hasil studi mengungkapkan bahwa peristiwa traumatis memperlihatkan fase-fase yang berbeda: pra-dampak, dampak, pasca dampak, pemulihan dan rekonstruksi. Respons terhadap bencana juga telah diketahui berdampak pada korban sekunder seperti penolong dan anak-anak, dan bahkan dapat berlanjut hingga lintas generasi.

Umumnya, angka mortalitas dan morbiditas dari bebagai jenis penyakit meningkat sebanding dengan tingkat keparahan dan durasi stres dan trauma tertentu. Sifat dasar dari apa yang dialami oleh para penyintas, korban sekunder, dan masyarakat sangat bervariasi di skenario fisik, psikologis, dan sosial.

Peneliti dahulu menemukan, misalnya, gejala yang sangat luas seperti mengingat kembali aspek bencana (PTSD), tetapi juga kebingungan, apati, duka cita, depresi, rasa bersalah si penyintas, rasa malu, keputusasaan, keterasingan, dan perjuangan untuk mencari makna.

Valent (1984, 1998) setelah kebakaran hutan Rabu Abu Australia mengklasifikasikan berbagai respons ini menurut manifestasi biologis, psikologis, dan sosial dari dorongan untuk bertahan hidup secara naluri yang berkisar antara waktu, tempat dan orang, mulai dari naluri hingga dimensi spiritual. Misalnya, seseorang percaya malaikat muncul dalam nyala api dan sayapnya akan menyelimuti dirinya. Seorang anak laki-laki percaya ibunya yang pemarah adalah seorang penyihir dan dia mengkonsumsi pil ajaib untuk menangkal kejahatannya.

Bencana telah menyoroti fakta bahwa para penolong pada umumnya terkena dampak sekunder, terutama jika upaya penyelamatan mereka gagal. Penolong melalui empati dapat beresonansi dengan penderitaan korban atau merasa bersalah dan malu karena tidak dapat membantu mereka.

Pada hakekatnya, trauma korban tidak hanya menyebar ke penolong tetapi juga anggota keluarga dan masyarakat, dan mungkin melintasi generasi.

Perang

Perang, lebih dari kecelakaan lalu lintas, telah menunjukkan penolakan dan penyangkalan gejala psikologis pada tentara. Komplain mereka diperlakukan sebagai berpura-pura sakit dan pengecut. Namun jutaan tentara, banyak dari mereka diberi tanda jasa, putus asa, membuktikan bahwa setiap orang rentan terhadap stres dan trauma yang ekstrem.

Meskipun konsekuensi psikologis dari pertempuran telah dicatat sejak zaman Yunani kuno, baru pada abad ke-17 Hofer menyatukan kegembiraan, ‘imajinasi’, gejala gastrointestinal, kelambanan, kelesuan, dan depresi pada tentara Swiss menjadi sindrom yang dia sebut melankolia. Konsep ini berlangsung selama 150 tahun, hingga pada Perang Saudara Amerika, kerinduan akan rumah dan kurangnya disiplin (disebut nostalgia) ditambahkan ke melankolia.

Pada Perang Dunia Pertama, setelah beberapa perlawanan, awalnya gejala stres fisik diakui, terutama pada jantung. Penyakit jantung iritasi, astenia neurosirkulatori, dan sindrom effort adalah diagnosis yang umum. Shell shock juga ditambahkan, diduga akibat ledakan yang menyebabkan sedikit kerusakan otak. Pada akhirnya, penyakit trauma psikologis murni harus diakui karena banyaknya kasus gangguan mental.

Karya penting yang muncul dari Perang Dunia Pertama adalah karya Abram Kardiner (1941) The Traumatic Neuroses of War. Kardiner menjelaskan berbagai macam gejala terkait peristiwa traumatis yang dapat kembali dalam bentuk mimpi buruk dan kilas balik. Mereka dapat melebur dengan gejala neurosis dan fisik lainnya. Kardiner menekankan bahwa semua gejala memiliki makna dalam kaitannya dengan trauma-trauma lama, bahkan jika trauma tersebut berada di alam bawah sadar.

Menariknya, pandemi flu Spanyol tahun 1918 yang menewaskan 50 juta orang di seluruh dunia dan juga melanda kombatan Perang Dunia Pertama tidak disebutkan di antara korban perang di kedua sisi konflik, agar tidak mengungkap kerentanan militer suatu pihak. Ini adalah contoh nyata bagaimana kekuatan politik dapat menekan pengakuan dan pengobatan terhadap pandemi. Flu ini disebut dari Spanyol karena orang Spanyol, yang netral dalam perang, mengakui flu tersebut.

Pada Perang Dunia Kedua, pelajaran dari perang sebelumnya harus dipelajari kembali. Seperti trauma itu sendiri, trauma neurosis juga ditekan. Ini adalah sebuah peringatan bahwa pelajaran tentang pandemi saat ini tidak boleh dilupakan.

Begitu keputusasaan akibat pertempuran diakui, penelitian ilmiah baru pun dilakukan. Ditemukan bahwa gangguan psikologis bergantung pada intensitas dan durasi ancaman kematian serta jumlah rekan yang terbunuh. Di unit-unit yang mengalmi tekanan berat, semua tentara pada akhirnya akan berputus asa. Kita belajar bahwa terlepas dari kekuatan dan kerentanan orang, semua orang pada akhirnya bisa dihancurkan.

Perang Dunia Kedua menyingkapkan pentingnya moral. Moral terdiri dari motivasi untuk mencapai tujuan penting dan keyakinan pada kemampuan seseorang untuk melakukannya. Moral juga terdiri dari identitas seseorang yang dilihat sebagai bagian dari kelompok, di mana kelompok lebih penting daripada perseorangan. Kelompok adalah tubuh, pemimpin adalah kepalanya, dan individu sebagai bagian tubuh. Moral merupakan penangkal terhadap kecemasan akan kehancuran.

Dengan kekalahan mencapai tujuan dan kehilangan rekan, kepercayaan diri merosot dan demoralisasi mulai terjadi. Kelompok militer kehilangan semangat korpsnya. Orang-orang merasa diabaikan di dunia yang berbahaya tanpa alasan yang jelas. Kedisiplinan runtuh, petugas-petugas dibunuh oleh anak buah mereka sendiri, dan kekejaman terus berlangsung.

Sedangkan pada Perang Dunia Pertama, Grinker dan Spiegel (1945) memvalidasi temuan Kardiner tentang berbagai tanggapan tentara tentara yang mengalami trauma. Mereka menyebut ‘keputusasaan akibat pertempuran’ sebagai ‘parade sekilas dari segala jenis gejala psikologis dan psikosomatis, serta perilaku tidak adaptif.’ Baik itu depresi, histeria, gejala somatik, fobia, dan lain-lain, semua gejala tersebut lebih dapat dipahami dalam hal insiden traumatis yang dialami para tentara.

Bartemeier et al (1946) menambahkan ke temuan Grinker dan Spiegel semacam gambaran traumatis definitif akhir dari perang. Mereka menyebutnya ‘kelelahan akibat pertempuran’. Ciri-cirinya adalah rasa penat, kelambanan, penarikan diri, kelesuan, dan hilangnya konsentrasi dan minat. Jika sepenuhnya terpengaruh, prajurit muda akan tampak seperti orang tua yang berjalan seperti robot, sangat lelah, terlihat dungu, dan apatis.

Pasca Perang. Untuk pertama kalinya, perhatian khusus diberikan kepada tentara yang berhasil kembali. Sekarang menjadi jelas bahwa pada banyak tentara, gejala tidak terlihat jelas saat jauh dari pertempuran. Mereka bahkan bisa bertahan selama beberapa dekade. Lebih lanjut lagi, gejalanya bisa muncul berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah perang. Jelas pula, gejala-gejala dari perang pada waktunya dapat terjalin dengan tekanan dan trauma kehidupan sipil.

Para Ahli Kesehatan Mental. Untuk pertama kalinya juga, para ahli kesehatan mental juga menjadi sasaran observasi. Hasilnya ditemukan bahwa kebanyakan psikiater menganggap diri mereka sendiri sebagai bagian dari upaya perang. Mereka menyangkal keputusasaan; sebaliknya mereka memarahi tentara agar berusaha lebih keras dan memberikan diagnosis yang meremehkan seperti hanya berpura-pura ketika upaya ini gagal. Sekali lagi kita melihat bagaimana politik kekuasaan dapat mempengaruhi wacana ilmu pengetahuan mental.

Perang Vietnam. Dengan kekalahan, demoralisasi menghasilkan disiplin yang buruk, kecanduan narkoba, penolakan untuk berperang, pembunuhan para petugas, dan kejahatan lainnya. Dilihat secara subyektif, para tentara merasa terasing, mati rasa, marah, merasa bersalah, tidak bisa mempercayai dan mencintai. Mereka tanpa rasa keadilan, moralitas, makna, dan tujuan.

Dari mereka yang kembali, 38% dipulangkan dalam waktu enam bulan. Sepertiga dari tahanan federal adalah veteran Vietnam. Namun, sekali lagi, konsekuensi kesehatan mental para veteran yang menderita disangkal.

Sampai akhirnya ribuan dari mereka melakukan gerakan agar penderitaan mereka diakui. Baru pada saat itulah politik psikiatri memberi mereka diagnosis- gangguan stres pasca trauma (PTSD). Diagnosis ini berisi pengakuan terbatas atas semua penderitaan yang para veteran tahan atau ingat kembali.

Warga sipil di Masa Perang. Meskipun keadaan mereka berbeda, namun warga sipil juga terancam kematian dan cedera. Tingkat cedera mental warga sipil bergantung pada situasi yang mirip dengan para tentara: keyakinan dan kepemimpinan, tingkat dan durasi kehancuran, kemenangan atau kekalahan, dan berapa banyak populasi dan orang-orang tercinta yang terbunuh atau terluka.

Pada serangan London, semangat juang memang tinggi, kecuali pada minoritas yang terkena dampak parah. Sifat dasar dari gangguan mental mereka beragam, seperti halnya dengan tentara. Di Hiroshima, setelah ledakan bom atom, populasi yang berhasil selamat menyerupai tentara yang kelelahan akibat pertempuran.

Anak-anak di Masa Perang. Meskipun dilindungi oleh orang dewasa, anak-anak tetap mengalami pemboman dan kekacauan, dan mereka menyerap ketakutan dan emosi dari orang dewasa. Kerentanan pada anak-anak tercermin dari angka morbiditas dan mortalitas mereka yang relatif tinggi dibandingkan dengan orang dewasa. Dan ketika perisai orang tua dicabut, penderitaan anak-anak menjadi ekstrem. Pada anak kecil, gejala psikosomatis dan perilaku mendominasi dalam mengekspresikan kesengsaraan. Anak-anak yang lebih tua mengalami gejala yang mirip dengan orang dewasa.

Holocaust

Holocaust adalah penganiayaan terhadap orang banyak yang paling mutlak dan meluas dalam sejarah. Ini menyebabkan kematian enam juta orang Yahudi. Konsekuensi dari genosida ini didokumentasikan dengan baik dan sampai sekarang telah diajarkan selama tiga generasi.

Menjelang pemusnahan mereka, penyakit kejiwaan, bunuh diri, hipertensi dan angina dilaporkan meningkat. Di kamp konsentrasi, hingga setengah dari tahanan mati hanya dalam beberapa minggu. Beberapa, disebut remis, mengambang di antara hidup dan mati. Mereka orang-orang yang tampak kurus dan tua, emosinya mati rasa, dan kognitifnya buruk. Gambaran keberlangsungan hidup mereka lenyap dan mereka terlihat seperti siluet insaniah. Sebagian besar mati. Mereka mirip dengan orang yang menderita kelelahan akibat pertempuran, tetapi mereka mengalami trauma melalui level tertinggi yang lain.

Mereka yang selamat dari Holocaust melakukannya melalui kombinasi keberuntungan dan tekad yang kuat, harapan, serta mempertahankan makna. Meski demikian, pasca perang mereka menderita berbagai penyakit biologis, psikologis dan sosial. Selama beberapa dekade berikutnya, angka morbiditas dan mortalitas mereka lebih tinggi daripada populasi lainnya.

Gejala sisa psikologis dari Holocaust, meski sangat besar, sekali lagi disangkal selama dua dekade. Awalnya, gejala fisik diakui. Hingga akhirnya, kentara bahwa para penyintas Holocaust menderita banyak gejala dan masalah.

Para penyintas tersiksa oleh duka yang sangat mendalam, rasa bersalah, kemarahan, keputusasaan, depresi, penyakit psikosomatis, dan kehilangan makna dan tujuan. Mereka berusaha menemukan makna dalam pernikahan kilat, memiliki anak, dan kerja keras.

Anak-anak. Sembilan persepuluh (satu setengah juta) anak Yahudi dibunuh dalam Holocaust. Kebanyakan yang selamat terpisah dari orang tua mereka, disembunyikan oleh orang tak dikenal. Anak-anak mematikan perasaan mereka, menjadi sangat patuh, dan hidup hari demi hari menunggu keajaiban yaitu akhir dari penderitaan mereka.

Pasca perang, penderitaan yang dialami anak-anak tidak diakui. Mereka harus mengahadapinya secara diam-diam dan tanpa diketahui dengan pengalaman mereka selama perang yang, tanpa disadari, masih menyelimuti mereka. Mereka diam-diam menghadapi duka kehilangan masa kecil dan impian mereka. Seperti salah satu penulis (PV), anak-anak yang selamat dari Holocaust baru dikenali pada tahun 1990-an ketika anak-anak itu berusia lima puluhan (Valent, 1994). Pada saat itulah mereka mulai memproses trauma mereka.

Generasi kedua yang selamat sangat dipengaruhi oleh Holocaust melalui orang tua mereka. Mereka membawa emosi, sensasi, gambaran, penilaian, dan sikap negatif yang tidak dapat mereka pahami, karena orang tua mereka lebih memilih bungkam tentang pengalaman mereka dan apa arti anak-anak bagi mereka.

Pelaku kejahatan dan anak-anaknya. Nazi Jerman menghasilkan kekerasan dan kekejaman ekstrem, tetapi ini juga bisa terjadi di tempat lain, seperti kekejaman yang tercatat terjadi di Vietnam.

Kekerasan di atas sama meluasnya dengan trauma. Hal ini termasuk juga hubungan keluarga yang buruk, kerugian, kemiskinan, kekacauan sosial. Mereka dapat memanfaatkan rasa takut, tekanan dalam kelompok, dehumanisasi, dan oportunisme untuk melakukan kekejaman yang mungkin terlihat mengerikan dalam keadaan normal (Valent, 2020).

Anak-anak pelaku kejahatan mengalami dilema. Mereka harus memilih antara mengidentifikasikan diri dengan orang tua dan kakek nenek mereka seperti yang dilakukan oleh beberapa neo-Nazi, atau mereka perlu dengan berat hati melepaskan diri.

Kekerasan Fisik, Kekerasan Dalam Rumah Tangga; Kekerasan Seksual

Pada 1980-an, jutaan orang tercatat menjadi korban kekerasan setiap tahun di AS. Dua juta kasus penyiksaan dan penelantaran anak dilaporkan setiap tahun. 3,3 juta anak menyaksikan pelecehan terhadap pasangan setiap tahun.

Kekerasan itu traumatis. Misalnya, korban kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya menderita PTSD, tetapi juga keyakinannya akan keselamatan, kepercayaan, rasa percaya diri, penilaian diri sendiri, dan pandangan tentang moral hancur.

Pada tahun 2002, Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan 73 juta anak laki-laki dan 150 juta perempuan di bawah 18 tahun mengalami pelecehan seksual. Di AS, 11% anak sekolahan perempuan dan 4% laki-laki mengalami pelecehan seksual. Di perguruan tinggi, seperenam wanita yang kuliah menjadi korban pemerkosaan. Kekerasan seksual, terutama terhadap anak-anak, sangat ganas, karena dapat menghancurkan harga diri, identitas, keintiman, cinta, kreativitas, dan kepuasan diri. Lebih buruk lagi, kekerasan pada anak membuat mereka tidak dapat memproses apa yang terjadi pada mereka dan penyebab masalah mereka yang berat. Sekalipun mereka tahu, dan protes, anak-anak seringkali tidak dipercaya dan disalahkan atas masalah mereka.

Kematian dan Duka

Setiap orang harus berhadapan dengan kematiannya sendiri dan orang lain. Dalam keadaan normal, seseorang akan melewati tahapan syok akibat kehilangan, penyangkalan, merana, berduka, dan penerimaan.

Kematian yang traumatis sangat menyulitkan karena mereka tak berarti dan tanpa tujuan. Mereka konyol, tidak bermoral, kehormatan, tujuan, atau melengkapi cerita yang pedih. Kematian dan duka yang seperti itu sulit untuk ditangisi dan diterima. Mereka sering menyebabkan duka yang tak kunjung usai, depresi, dan berbagai disfungsi biopsikososial.

Ringkasan

Situasi traumatis yang berbeda menekankan aspek stres dan trauma yang berbeda pula. Bencana mengajarkan kita bahwa situasi traumatis memiliki fase pra-dampak, dampak, pasca dampak, dan fase pemulihan, meskipun kesedihan bisa bertahan selama beberapa dekade. Kita jadi tahu bahwa ada korban primer dan sekunder, misalnya tenaga medis. Kita perlu memperhatikan berbagai kelompok umur (khususnya tidak melupakan anak-anak), dan generasi selanjutnya.

Psikiatri perang menekankan untuk mengingat kembali atau menahan diri di situasi bertarung atau lari. Pelecehan seksual dan Holocaust menekankan konsekuensi biopsikososial dan spiritual dari trauma yang merembet seiring waktu dan generasi.

Tema umum muncul dari situasi traumatis yang berbeda-beda. Pertama, setiap situasi traumatis awalnya disangkal. Selanjutnya, para korban disalahkan. Saat akhirnya diakui, gejala fisik adalah yang pertama kali diidentifikasi. Konsekuensi mental tetap disangkal sampai mereka terlalu nyata untuk diabaikan.

Meskipun situasi yang berbeda memiliki tanda pengenal tertentu, misalnya pertempuran menyoroti PTSD dan rasa kehilangan menyoroti depresi, setiap situasi traumatis mengangkut sederet aneka ragam gejala, yang seiring waktu dapat menjadi satu atau lebih disfungsi fisik, psikologis, atau sosial.

Situasi traumatis dapat menurun seiring waktu, tempat, dan perseorangan. Lebih lanjut, konsekuensi tersebut memancar dari naluri ke dimensi politik, ideologis, dan spiritual. Misalnya, Hitler menyalahkan orang Yahudi atas penderitaan orang Jerman.

Pandemi COVID-19 adalah situasi traumatis lainnya. Kita akan mengusut manifestasinya, dan kemudian melihat kebijaksanaan kolektif apa yang bisa kita peroleh dari situ.

Stres Dan Trauma Di Masa Pandemi

Подняться наверх