Читать книгу Bangkitnya Para Naga - Морган Райс, Morgan Rice - Страница 13

BAB SATU

Оглавление

Kyra berdiri di puncak sebuah bukit kecil berumput, pada tanah beku di bawah sepatu bot miliknya; salju turun di sekelilingnya dan ia mencoba mengabaikan dingin yang menggigit saat ia menyiapkan busur lalu membidik sasarannya. Ia picingkan matanya, ia lupakan segala sesuatu—desiran angin, suara gagak di kejauhan—dan memaksa dirinya untuk hanya menatap pohon birch yang kurus di kejauhan, putih pucat warnanya, tegak menjulang di antara deretan pohon pinus sewarna lembayung. Duapuluh depa adalah jarak memanah yang terlalu sulit bagi saudara-saudara laki-lakinya, bahkan bagi para anak buah ayahnya—dan itulah yang membuat tekad Kyra makin teguh—sebagai anak bungsu dan satu-satunya gadis di antara saudara-saudaranya.

Kyra tak pernah merasa cocok. Sebagian dari dirinya tentu saja ingin menjadi seperti harapan orang akan dirinya dan menghabiskan waktu seperti layaknya gadis-gadis lainnya, yaitu mengurus pekerjaan rumah; namun jauh di lubuk hatinya, ia merasa bahwa dirinya bukanlah gadis seperti itu. Ia adalah seorang anak perempuan dengan semangat pejuang, mirip seperti ayahnya, dan ia tak sudi terkungkung di balik kokohnya tembok benteng pertahanan mereka, ia takkan mau hanya berdiam diri di rumah. Ia adalah pemanah yang lebih hebat daripada seluruh lelaki di sana—dan memang, ia bahkan lebih unggul daripada pemanah terbaik anak buah ayahnya—dan ia akan melakukan apa pun demi membuktikan kemampuannya pada mereka, dan terutama pada ayahnya, bahwa ia layak diperhitungkan. Ia tahu betapa ayahnya sangat menyayanginya, namun ayahnya tak akan menganggapnya lebih dari seorang anak perempuan.

Kyra berlatih keras di padang Volis, jauh dari bentengnya—itulah tempat yang sesuai baginya, karena sebagai satu-satunya gadis di dalam benteng yang penuh dengan pasukan, ia harus berlatih seorang diri. Tiap hari ia selalu menyendiri ke padang itu, ke tempat kesukaannya di puncak dataran tinggi yang menghadap ke dinding batu yang menjulang, tempat ia bisa mencari pohon yang tepat, yaitu pohon kurus yang sulit dibidik. Bunyi hentakan anak panah yang menancap di sasarannya bergema di seluruh desa; tak satu pun pohon yang luput dari anak panahnya, batang-batangnya terkoyak, dan beberapa pohon lain bahkan hampir ambruk.

Kyra tahu bahwa sebagian besar pasukan pemanah ayahnya berlatih membidik tikus yang berkeliaran di padang itu; dan saat ia memanah untuk kali pertama, ia mencobanya juga dan dapat membidik tikus-tikus itu dengan cukup mudah. Namun hal itu membuatnya muak. Ia memang pemberani, namun sekaligus perasa, dan ia benci membunuh makhluk bernyawa tanpa tujuan. Sejak saat itu ia bersumpah tak akan membidik sasaran makhluk bernyawa lagi—kecuali jika makhluk itu membahayakan dirinya atau menyerangnya, seperti Wolfbat yang muncul di malam hari dan terbang terlalu dekat dengan benteng ayahnya. Ia tak segan-segan membunuh makhluk semacam itu, apalagi setelah Aidan, adiknya laki-laki, tergigit oleh Wolfbat dan menderita sakit selama dua pekan. Selain itu, Wolfbat adalah makhluk dengan gerakan tercepat, dan ia yakin apabila ia dapat memanahnya, apalagi di malam hari, maka ia dapat memanah apa pun. Suatu kali, ia menghabiskan sepanjang malam saat bulan purnama, memanah makhluk-makhluk itu dari menara benteng, dan keesokan paginya ia bergegas penuh semangat menghitung Wolfbat yang sekarat jatuh ke tanah, dengan anak panah yang masih menancap di tubuh mereka, dan orang-orang di desa berkerumun dan melihatnya dengan wajah terkesima.

Kyra berkonsentrasi sekuat tenaga. Ia membayangkan bidikan itu di dalam mata batinnya, merentangkan busur, dengan cepat menarik talinya hingga ke dekat dagunya dan melepaskannya secepat kilat. Ia paham bahwa bidikan yang sesungguhnya itu terjadi sebelum ia melesatkan anak panahnya. Ia telah melihat banyak pemanah seusia dirinya, sekitar empat belas tahun umurnya, menarik tali busur dengan ragu-ragu—dan ia tahu bahwa bidikan mereka pasti akan meleset. Ia mengambil nafas dalam-dalam, mengangkat busurnya, dan dalam satu gerakan mantap, ditariknya tali busur lalu dilesatkannya anak panah. Ia bahkan tak perlu memeriksa apakah bidikannya berhasil mengenai pohon sasarannya.

Sejurus kemudian ia mendengar bunyi anak panah itu menancap mengenai sasarannya—namun ia telah berpaling menghadap sasaran selanjutnya, yang letaknya lebih jauh.

Kyra mendengar dengkingan di dekat kakinya dan matanya menatap Leo, serigala miliknya, berjalan di sisinya seperti biasa, lalu menggesekkan badan di kaki Kyra. Leo, seekor serigala dewasa dengan badan hampir setinggi pinggangnya, sangat melindungi Kyra seolah-olah Kyra adalah miliknya; mereka berdua selalu terlihat bersama-sama di dalam benteng ayahnya. Ke mana pun Kyra pergi, ke situlah Leo bergegas mengikutinya. Dan Leo akan selalu menyertai di sampingnya—kecuali jika ada seekor tupai atau kelinci yang melintas, maka saat itulah Leo dapat menghilang selama berjam-jam lamanya.

"Aku tak melupakanmu, kawan," kata Kyra sambil merogoh sebuah kantong dan memberikan sepotong tulang sisa dari pesta makan hari itu kepada Leo. Leo menyambarnya dan berlarian dengan gembira di sebelahnya.

Saat Kyra berjalan, nafasnya menguar bersama kabut di sekelilingnya; dikalungkannya busur di pundak dan embusan nafas menerpa tangannya, lembab dan dingin. Ia melintasi dataran tinggi yang luas dan rata, lalu memandang ke sekeliling. Dari tempat ini, ia bisa melihat seluruh wilayah pedesaan, barisan perbukitan Volis yang biasanya menghijau namun kini berselimut salju, provinsi tempat benteng ayahnya berada, di ujung timur laut kerajaan Escalon. Dari sini, Kyra dapat melihat segala sesuatu yang terjadi di dalam benteng ayahnya di bawah sana, orang-orang dusun dan para pejuang yang hilir mudik, dan inilah salah satu alasan mengapa ia suka berada di tempat ini. Ia senang mempelajari hal-hal kuno, kontur dinding batu di benteng ayahnya, bentuk dinding pertahanan dan menara yang terbentang mengagumkan di sekujur bukit, seolah-olah terbujur sepanjang masa. Volis adalah bangunan tertinggi di seluruh pedesaan itu, dengan beberapa bangunan berlantai empat yang menjulang dan dikelilingi oleh tembok pertahanan yang memukau. Volis dilengkapi dengan sebuah menara berdinding bundar di empat penjuru dan sebuah kapel bagi penghuninya; namun bagi Kyra, kapel itu menjadi sebuah tempat untuk dipanjatnya lalu mengamati seluruh penjuru desa dan menyendiri di situ. Tembok batu itu dikelilingi oleh sebuah parit, dengan sebuah jalan utama dan jembatan batu yang melengkung membentang di atasnya; selanjutnya, tempat itu dilindungi oleh tanggul-tanggul, bukit, selokan dan tembok—benar-benar sebuah tempat yang sesuai untuk salah satu prajurit Raja yang paling penting, yaitu ayahnya.

Meskipun Volis ini -yang merupakan benteng pertahanan terakhir sebelum Benteng Api- jaraknya sejauh beberapa hari perjalanan dari Andro, ibu kota Escalon, namun Volis merupakan tempat kediaman banyak prajurit Raja yang termashyur. Volis juga merupakan sebuah menara suar, sebuah tempat yang didiami oleh ratusan penduduk desa dan petani yang tinggal dekat atau di balik tembok itu untuk berlindung.

Kyra menatap puluhan rumah tanah kecil yang bertengger di perbukitan di pinggiran benteng, dengan asap yang membumbung dari cerobongnya, para petani yang hilir mudik bergegas mempersiapkan datangnya musim dingin, serta menyiapkan diri untuk festival nanti malam. Kyra paham akan kenyataan bahwa orang-orang desa merasa cukup aman untuk tinggal di luar tembok pertahanan merupakan tanda betapa besarnya rasa hormat mereka akan kekuatan ayahnya, dan rasa hormat semacam itu tak terdapat di tempat lain di seluruh Escalon. Lagipula, mereka ini hanyalah ibarat tanda bahaya yang berbunyi jauh dari perlindungan, jauh dari pasukan ayahnya yang akan segera berkumpul begitu bahaya muncul.

Kyra menatap ke jembatan gantung di bawah, yang selalu dipenuhi oleh lalu lalang orang—entah itu para petani, tukang sepatu, tukang sembelih ternak, pandai besi, dan tentu saja para prajurit—yang semuanya bergegas hilir mudik dari dalam benteng ke pedesaan. Semua ini karena sisi dalam benteng bukan sekadar tempat untuk tinggal dan berlatih, namun juga merupakan hamparan pelataran maha luas berlantai batu yang menjadi tempat berkumpulnya para pedagang. Tiap hari, lapak-lapak dibuka berderet-deret, para pedagang menjual dagangannya, saling bertukar barang, menawarkan hasil buruan atau tangkapan pada hari itu, atau pakaian indah atau rempah-rempah atau gula-gula yang dibeli dari negeri seberang. Pelataran benteng itu selalu dipenuhi oleh aroma sedap nan semerbak, entah itu aroma teh yang langka atau bau makanan yang direbus; Kyra betah berlama-lama menikmatinya selama berjam-jam. Dan di balik tembok itu di kejauhan, jantungnya berdegup kencang melihat arena latihan Gerbang Petarung yang berbentuk bundar untuk pasukan ayahnya, dan dinding batu rendah yang mengelilinginya; dan ia pun kegirangan melihat para pasukan itu saling menyerang dalam barisan rapi di atas kuda-kuda mereka, berusaha menombak sasaran berupa perisai yang digantungkan di pepohonan. Ia ingin berlatih bersama mereka.

Tiba-tiba Kyra mendengar suara teriakan, suara yang akrab di telinganya, asalnya dari arah gerbang; sontak ia berpaling dengan sigap. Keributan muncul dari tengah-tengah keramaian, dan saat matanya mengawasi hiruk pikuk itu, dari kerumunan itu muncullah adiknya, Aidan, yang diikuti oleh dua kakaknya, Brandon dan Braxton, lalu mereka turun ke jalan. Kyra tegang, ia bersiaga. Ia bisa tahu dari suara teriakan takut adiknya itu bahwa sang kakak datang dengan maksud tak baik.

Mata Kyra menyipit melihat dua kakaknya, keamarahan terasa memuncak dalam dirinya dan membuatnya tak menyadari bahwa genggaman tangan di busurnya semakin erat. Datanglah Aidan berjalan di antara kakak-kakaknya, masing-masing dengan tubuh satu kaki lebih tinggi, dan mereka berdua mengapit lengan aidan dan menyeretnya dari dalam benteng ke pinggiran desa. Aidan dengan badannya yang kecil dan kurus, seorang laki-laki perasa yang usianya belum genap sepuluh tahun, terlihat sangat lemah diapit kedua kakaknya, dengan badan bongsor untuk ukuran laki-laki berusia tujuh belas dan delapan belas tahun. Mereka bertiga terlihat mirip dan memiliki warna kulit serupa, dengan rahang yang kokoh, dagu yang tegas, mata coklat gelap dan rambut coklat berombak—meskipun rambut Brandon dan Braxton pendek, sedangka rambut Aidan terurai, kusut, menutupi matanya. Mereka bertiga terlihat mirip—dan tak satu pun yang mirip dengan Kyra, dengan rambut pirang dan mata abu-abu terangnya. Dengan celana tenun, tunik wol dan jubahnya, Kyra tampak tinggi dan kurus, pucat sekali; banyak yang berkata dengan kening lebar dan hidung kecilnya itu adalah anugerah yang telah membuat banyak pria berpaling padanya. Apalagi setelah kini usianya menginjak lima belas tahun, ia sadar bahwa dirinya makin menarik.

Hal itu membuatnya merasa tak nyaman. Ia tak suka menarik perhatian, dan ia tak menganggap dirinya cantik. Ia sama sekali tak peduli akan penampilannya—yang ia pedulikan hanya latihan, demi keberanian, demi kehormatan. Ia lebih suka terlihat mirip dengan ayahnya, seperti kakak-kakaknya pun mirip dengan sang ayah, pria yang ia kagumi dan ia sayangi lebih dari apa pun di dunia ini, daripada memiliki paras yang cantik. Ia selalu mengamati cermin kalau-kalau ada kemiripan dengan sang ayah; toh betapa pun keras ia mencoba, tak sedikit pun kemiripan itu ia temui.

“Kubilang lepaskan!” seru Aidan, dengan suara yang terdengar hingga ke tempat Kyra berada.

Demi mendengar isyarat takut dalam suara adik terkasihnya, seorang anak laki-laki yang sangat Kyra sayangi lebih dari segala sesuatu, maka secepat kilat ia pun berdiri tegak, bagai seekor singa yang mengawasi anaknya. Demikian pula Leo, telinganya berdiri, dan bulu-bulu di punggungnya meremang. Karena ibu mereka telah lama meninggal, Kyra merasa wajib menjaga Aidan, demi menggantikan sosok ibu yang telah hilang.

Brandon dan Braxton menyeretnya dengan kasar di jalan, jauh dari benteng, di jalan pedesaan yang lengang menuju ke hutan, dan Kyra melihat bahwa mereka akan memaksa adiknya itu untuk menghunus sebuah tombak yang terlalu besar ukurannya untuk Aidan. Aidan adalah bulan-bulanan yang terlalu mudah ditaklukkan oleh mereka berdua; Brandon dan Braxton memanglah tukang mengganggu. Mereka berdua kuat dan lumayan pemberani, namun tampaknya bualan mereka lebih hebat daripada keterampilannya, dan mereka selalu terlibat masalah yang tak mampu mereka selesaikan sendiri. Benar-benar menyebalkan!

Kyra segera paham apa yang tengah terjadi: Brandon dan Braxton menyeret Aidan bagaikan hasil buruan. Kyra melihat sekantung anggur di tangan mereka dan ia tahu bahwa kedua kakanya itu tengah mabuk, dan ia pun merasa kesal. Rupanya belum cukup bagi mereka membunuh binatang tak berdosa, dan kini mereka menyeret adiknya, meskipun Aidan meronta-ronta sekuat tenaga.

Naluri Kyra tersulut dan ia segera bertindak, ia berlari ke kaki bukit untuk menghadang mereka, sementara Leo ikut berlari di sampingnya.

"Kini kau telah cukup besar," kata Brandon pada Aidan.

"Sudah saatnya kau menjadi seorang laki-laki sejati," ujar Braxton.

Sembari terus berlari menuruni bukit berumput yang telah ia hafal betul, Kyra tak butuh waktu lama untuk segera sampai ke tempat mereka. Ia merangsek ke jalan dan berhenti di muka mereka, menghadang langkah mereka, tersengal-sengal menarik nafas dengan Leo berdiri di sebelahnya, dan segeralah langkah kedua kakaknya berhenti, lalu mereka menoleh ke belakang sambil tertegun.

Kyra melihat betapa raut muka Aidan berangsur lega.

"Kau tersesat?" ejek Braxton.

"Kau menghalangi jalan kami," kata Brandon. "Kembalilah bermain dengan panah dan tongkatmu."

Lalu kedua kakaknya tertawa mencemooh; namun Kyra mengernyitkan dahinya, tak sedikitpun bergeming, sedangkan Leo berdiri di sebelahnya dengan geram.

"Singkirkan binatang ini dari hadapan kami," kata Braxton, berusaha agar terdengar berani meskipun suaranya jelas menyiratkan ketakutan, terlihat dari genggamannya yang makin erat pada gagang tombaknya.

"Mau kalian bawa ke mana Aidan?" tanya Kyra dengan raut serius, matanya menatap mereka tanpa berkedip.

Mereka terhenti, perlahan raut muka mereka berubah tegang.

"Kami akan membawanya ke mana pun kami mau," kata Brandon.

"Ia akan pergi berburu untuk belajar menjadi seorang laki-laki sejati," ujar Braxton, dengan memperjelas kata-kata terakhirnya untuk menyindir Kyra.

Namun Kyra takkan menyerah begitu saja.

"Ia masih terlalu kecil," balas Kyra tegas.

Brandon memandang dengan masam.

"Kata siapa?" tanyanya.

"Kataku."

"Kau ibunya?" tanya Braxton.

Kyra memerah, ia meradang, berharap ibunya ada di situ sekarang.

"Dan kau pun bukan ayahnya," balas Kyra.

Mereka berdiri di situ dalam kebisuan yang tegang, dan Kyra menatap Aidan yang membalasnya dengan tatapan ketakutan.

"Aidan," tanya Braxton, "kau mau melakukan ini?"

Aidan tertunduk malu. Ia berdiri saja, terdiam, menghindari tatapan mata itu, dan Kyra tahu bahwa Aidan takut berkata-kata untuk membantah kakak-kakaknya.

"Baiklah, jadi itulah yang kau inginkan," kata Brandon. "Ia tak keberatan."

Kyra hanya berdiri dengan gemas, berharap Aidan berani berbicara, namun ia tak dapat memaksanya.

"Rasanya tak baik bila kalian mengajaknya berburu," ujar Kyra. "Badai mulai datang. Pun sebentar lagi malam akan tiba. Banyak bahaya di dalam hutan sana. Jika kalian ingin mengajarinya berburu, ajaklah lain kali saat ia sudah lebih besar."

Mereka kembali merengut karena jengkel.

"Tahu apa kau soal berburu?" tanya Braxton. "Apa yang pernah kau buru, selain pohon-pohon itu?"

"Pernahkah mereka menggigitmu?" imbuh Brandon.

Mereka berdua tergelak dan Kyra semakin marah, apa lagi yang harus ia lakukan. Jika Aidan tak mau menjawab, maka Kyra pun tak bisa apa-apa.

"Kau terlalu khawatir, adikku," tukas Brandon. "Bersama kami, takkan terjadi apa-apa pada Aidan. Kami hanya ingin membuatnya lebih pemberani—bukan membunuhnya. Kau pikir hanya dirimu saja yang peduli padanya?"

"Selain itu, Ayah pun ikut mengawasi," kata Braxton. "Apakah kau ingin mengecewakannya?"

Segera Kyra melihat di balik bahu mereka, di kejauhan, di atas menara yang tinggi, ia melihat ayahnya berdiri di dekat jendela terbuka yang berbentuk melengkung, tengah mengawasi mereka. Ia merasa kecewa pada ayahnya karena tak menghentikan ini semua.

Mereka hendak lewat, namun Kyra berdiri di situ, bergeming mencegat mereka. Mereka kelihatannya hendak merangsek mendorongnya, namun Leo maju di tengah-tengah mereka, menggeram, dan mereka pun mengurungkan niatnya.

"Aidan, ini belum terlambat," kata Kyra padanya. "Kau tak perlu melakukan ini. Maukah kau kembali ke benteng bersamaku?"

Ia mengamati Aidan dan terlihat olehnya mata Aidan berbinar, namun sekaligus tampak pula ketersiksaan di dalamnya. Lama mereka membisu, tanpa sepatah kata pun kecuali bunyi angin yang berdesir dan salju yang menderas.

Akhirnya, adiknya beringsut.

"Aku ingin berburu," ucapnya terbata dan ragu-ragu.

Kakak-kakaknya pun tiba-tiba merangsek ke depan, menabrak bahunya sembari menyeret Aidan, dan saat mereka berjalan cepat menyusuri jalan, Kyra berpaling dan mengamati mereka, dengan rasa muak di perutnya.

Kyra berbalik arah menuju ke benteng dan memandang ke atas ke menara, namun ayahnya tak lagi ada di sana.

Kyra terus mengamati hingga ketiga kakak-beradik itu menghilang dari pandangan, lenyap ditelan badai yang mulai datang, menuju ke Hutan Akasia, dan Kyra merasa sangat kesal. Sempat terpikir olehnya untuk merebut Aidan dan membawanya pulang—namun ia tak ingin mempermalukannya.

Ia tahu bahwa ia harus membiarkan hal ini terjadi—namun ia tak sanggup. Ada sesuatu dalam dirinya yang mencegahnya tinggal diam. Ia merasakan firasat adanya bahaya, terlebih dalam masa perayaan Bulan Musim Dingin seperti ini. Ia tak memercayai kedua kakak laki-lakinya; ia tahu bahwa mereka tak akan mencelakai Aidan, namun keduanya ini sungguh ceroboh dan terlalu kasar. Dan yang paling buruk, kedua kakaknya ini merasa terlalu percaya diri akan kemampuan yang mereka miliki. Itu adalah perpaduan sifat yang buruk.

Kyra tak tahan lagi. Jika ayahnya hanya diam saja, maka ia yang akan melakukannya. Kyra telah cukup umur—ia tak perlu menjawab pertanyaan siapa pun selain menjawab dirinya sendiri.

Maka Kyra bergegas, berlari menyusuri jalan pedesaan yang lengang bersama dengan Leo di sampingnya, dan menuju ke Hutan Akasia.

Bangkitnya Para Naga

Подняться наверх