Читать книгу Bangkitnya Para Naga - Морган Райс, Morgan Rice - Страница 16
BAB EMPAT
ОглавлениеMerk menyusuri jalan setapak di dalam hutan dengan perlahan, ia tengah menuju ke Whitewood, sembari merenungi hidupnya. Empat puluh satu tahun dalam hidupnya adalah masa yang berat; ia belum pernah meluangkan waktu untuk berjalan menyusuri hutan, demi mengagumi keindahan di sekitarnya. Ia memandang dedaunan putih yang bergemerisik di bawah kakinya, ditingkahi bunyi tongkatnya saat ia menapakkak kakinya di tanah hutan yang lunak; ia memandang ke depan sembari berjalan, menikmati keindahan pepohonan Aesop, dengan daun-daun putihnya dan cabang-cabang merah merona, gemerlapan tertimpa sinar matahari pagi. Daun-daun gugur menimpanya bagai salju yang turun, dan untuk kali pertama dalam hidupnya, ia merasakan suasana damai yang sejati.
Dengan tinggi badan dan posturnya yang sedang, rambutnya yang hitam legam, wajah yang lama tak bercukur, rahang lebar, tulang pipi yang panjang dan menonjol, serta mata hitam yang lebar dengan kantung mata hitam di bawahnya, Merk selalu terlihat seperti orang yang kurang tidur. Dan memang itulah yang ia rasakan. Kecuali hari ini. Hari ini, ia akhirnya merasa dapat beristirahat. Di sini, di Ur, di ujung timur laut Escalon, salju tidak turun. Angin hangat berembus dari laut, namun saat angin bertiup ke barat, cuaca menjadi lebih hangat dan bunga-bunga beraneka warna akan mekar. Cuaca seperti itu membuat Merk bisa singgah hanya dengan mengenakan sepotong jubah, tanpa harus menghangatkan diri dari angin yang dingin, seperti kebanyakan orang di Escalon. Ia masih membiasakan diri mengenakan jubah untuk menggantikan baju zirah, menggunakan tongkat sebagai pengganti pedang, dan menumpukan tongkatnya pada dedaunan alih-alih menusuk lawannya dengan pisau belati. Ini semua adalah sesuatu yang baru baginya. Ia tengah mencoba seperti apa rasanya menjadi seseorang yang ia dambakan. Rasanya sangat damai—namun ganjil. Seolah ia sedang berpura-pura menjadi orang lain.
Itu semua lantaran Merk bukanlah seorang pengelana, dan bukan seorang pertapa—pun ia bukanlah seorang pecinta damai. Dalam dirinya, mengalir darah seorang prajurit. Dan ia bukanlah prajurit sembarangan; ia adalah seseorang yang bertempur dengan caranya sendiri, dan ia tak pernah kalah. Ia adalah seorang pria yang tak takut menghadapi pertempuran, entah itu pertempuran dengan tombak di atas kudanya atau perkelahian di kedai minum yang sering ia kunjungi. Seperti sebutan orang-orang, ia adalah seorang prajurit bayaran. Seorang pembunuh. Ahli pedang bayaran. Ada banyak julukan untuk dirinya, termasuk julukan yang kurang ajar; namun Merk tak ambil pusing soal julukan, pun tak peduli akan anggapan orang atas dirinya. Yang ia pedulikan hanyalah bahwa ia merupakan salah satu petarung terbaik.
Sesuai dengan pekerjaannya, Merk memiliki banyak nama yang dapat ia ganti-ganti sesukanya. Ia tak suka dengan nama pemberian ayahnya—dan sesungguhnya ia pun tak menyukai ayahnya—, maka ia tak akan menjalani hidup cukup dengan satu nama yang diberikan orang padanya. Merk adalah orang yang paling sering berganti nama, dan ia menyukai nama yang dipakainya saat ini. Ia tak peduli orang lain akan memanggilnya dengan nama yang mana. Hanya dua hal yang ia pedulikan dalam hidup ini, yaitu: menemukan tempat yang tepat untuk menancapkan belatinya, dan memastikan bahwa orang yang menyewanya membayar upahnya dengan emas, dalam jumlah yang besar.
Sejak kecil Merk sadar bahwa ia memiliki bakat alami, yang membuatnya selalu lebih unggul dari orang lain dalam segala hal. Saudara-saudara laki-lakinya, sama seperti ayah dan moyangnya yang termashyur, adalah para bangsawan luhur dan terhormat, dalam balutan baju zirah, berlapis besi terbaik, menunggang kuda, mengibarkan panji-panji kebesaran dengan rambut yang indah serta memenangkan perlombaan, lantas para gadis terpesona, menaburkan bunga di bawah kaki mereka. Mereka amat bangga pada dirinya sendiri.
Toh, Merk tak suka dengan segala kemegahan dan kegemerlapan itu. Para ksatria itu tampak kaku saat bertarung, sangat tak cakap, dan Merk sama sekali tak menaruh hormat pada mereka. Pun ia tak butuh pengakuan, lencana atau panji-panji atau jubah atau senjata seperti yang didambakan oleh para ksatria itu. Barang-barang semacam itu hanyalah untuk mereka yang tak punya sesuatu yang paling penting, yaitu: kemampuan untuk membunuh dengan cepat, tepat dan tenang. Dalam benaknya, tak ada lagi hal yang lebih penting.
Sewaktu kecil, ada beberapa kawannya yang terlalu lemah untuk membela diri, dan mereka menghadapi masalah; lalu mereka mendatangi Merk yang saat itu telah tenar karena keahliannya bermain pedang, dan Merk pun mendapat bayaran untuk membantu mereka. Para pengganggu kawan-kawannya itu tak pernah berani mengusik mereka lagi, sejak Merk menunjukkan keberaniannya. Kabar cepat tersebar tentang keberanian Merk; ia pun lebih sering disewa, dan kemampuan membunuhnya pun meningkat.
Merk bisa saja memilih menjadi seorang ksatria, seorang prajurit terkenal seperti saudara-saudaranya. Namun toh ia lebih memilih bekerja diam-diam semacam ini. Yang menarik baginya adalah bagaimana memenangi pertarungan, kecepatan membunuh lawan, dan ia segera tahu bahwa para ksatria itu, dengan senjata-senjatanya yang hebat dan baju zirah tebal, tak sampai separuh kemampuannya dalam hal kecepatan atau ketepatan membunuh lawan, sedangkan ia hanyalah seorang pria yang bertarung seorang diri, dengan baju kulit dan belati yang tajam.
Saat ia berjalan sembari menumpukan tongkatnya pada dedaunan, ia teringat suatu malam di sebuah kedai minum bersama saudara-saudara laki-lakinya, tatkala terjadi pertikaian dengan kstaria lawan. Saudaranya terkepung, kalah jumlah, dan saat para ksatria itu masih sibuk berbasa-basi sebelum bertarung, Merk tak mau berlama-lama. Ia melesak cepat dengan belati di tangannya dan menggorok leher semua lawannya, sebelum mereka sempat menghunus pedangnya.
Semestinya saudara-saudaranya berterima kasih padanya karena telah menyelamatkan nyawa mereka—namun mereka semua justru menjauhinya. Mereka takut akan dirinya, dan mereka meremehkan dirinya. Itulah ungkapan terima kasih yang ia dapatkan, dan pengkhianatan yang sangat melukai hati Merk lebih dari apa pun juga. Hal itu semakin membuat hubungan mereka renggang, ditambah dengan segala tetek bengek keningratan dan kesopansantunan. Di matanya, semua itu tak lebih dari kemunafikan, keegoisan; mereka kini mungkin dapat berjalan congkak dengan baju zirah yang mengkilap dan meremehkan dirinya, namun tanpa Merk dan belatinya, mereka pastilah telah terbujur kaku meregang nyawa di kedai minuman itu.
Merk terus berjalan, menghela nafas, berusaha melupakan masa lalunya. Dalam perenungannya, ia menyadari bahwa ia tak sepenuhnya tahu dari mana bakatnya itu berasal. Mungkin karena ia gesit dan tangkas; mungkin juga karena gerakan lengan dan tangannya sangat cepat; mungkin karena ia punya bakat istimewa untuk menemukan titik lemah di tubuh manusia; mungkin karena ia tak pernah ragu-ragu beraksi lebih berani, untuk melakukan tusukan pamungkas yang tak dapat dilakukan oleh orang lain; mungkin; mungkin karena ia melumpuhkan lawannya dalam sekali serang; atau mungkin karena ia mampu berimprovisasi, sanggup membunuh dengan senjata apa pun yang ia miliki—entah itu bulu ayam, palu, atau batang kayu tua. Ia jauh lebih terampil dari orang lain, lebih pandai menyesuaikan diri dan kakinya bergerak lebih cepat—sebuah kombinasi yang mematikan.
Seiring ia beranjak dewasa, semua ksatria angkuh itu makin menjauhinya, bahkan diam-diam mengejeknya (karena tak seorang pun dari mereka yang berani mengejeknya terang-terangan). Namun kini saat usia mereka tak lagi muda, ketika kekuatan mereka telah berkurang dan seiring namanya yang semakin tenar, ia adalah satu-satunya yang menjadi pasukan kerajaan, sementara semua saudaranya yang lain telah terlupakan. Ini semua lantaran para saudaranya itu tak memahami bahwa kesopansantunan tidak membuat seseorang layak menjadi raja. Alih-alih, yang menentukan adalah kekerasan yang berbahaya dan kejam, ketakutan, kemampuan menaklukkan lawan, dan sekaligus kemampuan membunuh yang mengerikan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dan saat tugas nyata sebagai seorang raja harus dituntaskan, kepada dirinyalah mereka menyerahkannya.
Dengan setiap jejakan tongkat pada dedaunan, Merk teringat akan setiap lawan yang dibunuhnya. Ia pernah membunuh musuh bebuyutan sang Raja—bukan dengan meracuninya—musuh yang pernah mereka coba tumpas dengan menyewa pembunuh bayaran, ahli pembuat racun, dan wanita penggoda. Musuh terbesar yang ingin mereka bunuh demi menyampaikan sebuah pesan, dan untuk itu, mereka membutuhkan bantuan Merk. Mereka menginginkan kematian yang mengerikan, yang dilihat oleh banyak orang: dengan belati yang menancap di bola matanya; dengan mayatnya yang tergeletak di pelataran terbuka, atau terjuntai di jendela, agar semua orang bisa melihatnya keesokan paginya, agar semua orang bertanya-tanya siapa gerangan yang berani melawan sang Raja.
Namun saat Raja Tarnis menyerah dan takluk pada Pandesia, Merk pun merasa pupus, dan untuk kali pertama ia merasa tak ada tujuan dalam hidupnya. Tanpa mengabdi pada sang Raja, ia merasa hidupnya terombang-ambing. Sesuatu yang telah lama bergejolak dalam dirinya kini muncul lagi, dan entah mengapa ia tak dapat memahami, betapa dirinya mulai mempertanyakan arti hidupnya. Seluruh hidupnya diisi oleh hasrat akan kematian, dorongan untuk membunuh dan mencabut nyawa lawannya. Hidupnya terasa demikian mudah—bahkan terlalu mudah. Namun kini, ada sesuatu dalam dirinya yang tengah berubah; seolah ia nyaris tak memiliki pijakan yang mantap dalam hidupnya. Ia sangat paham betapa rapuhnya hidup ini, betapa mudahnya hidup ini berakhir, namun kini ia mulai bertanya-tanya bagaimana mempertahankan hidupnya. Jika hidup demikian rapuh, bukankah mempertahankan hidup itu adalah tantangan yang jauh lebih berat daripada mengakhirinya?
Dan dalam hatinya, ia mulai bertanya: apakah hidup ini yang telah ia renggut dari lawan-lawannya?
Merk tak mengerti apa yang membuatnya mulai merenungkan diri, namun jelas perenungan ini membuatnya merasa tak enak hati. Ada sesuatu yang muncul dari dalam dirinya, rasa muak yang tak terperikan, dan ia menjadi jijik membunuh—rasa jijik itu kini sama besarnya dengan kesukaannya untuk membunuh di masa lalunya. Ia berharap ada sesuatu yang dapat ia anggap menjadi pemicu dari semua ini—misalnya, pembunuhan yang ia lakukan pada seseorang—tapi bukan itu juga penyebabnya. Perasaan itu muncul begitu saja dalam dirinya, tanpa sebab. Dan itulah perasaan yang paling mengganggu.
Tidak seperti prajurit bayaran lainnya, Merk hanya mau menerima pekerjaan untuk membunuh seseorang yang memang pantas dibunuh. Namun di kemudian hari, ketika ia telah menjadi sangat ahli, saat bayaran yang ia terima telah sedemikian besar, dan orang-orang yang menyewanya adalah orang-orang penting, maka prinsipnya itu mulai kabur; ia mau diupah untuk membunuh orang-orang yang tak semestinya dibunuh, bahkan tak perlu dibunuh sama sekali. Dan itulah yang membuatnya merasa tak enak hati.
Mark begitu ingin dapat membatalkan semua pembunuhan yang pernah ia lakukan, untuk membuktikan pada orang bahwa dirinya dapat berubah. Ia ingin menghapus masa lalunya, untuk mengembalikan apa yang telah dilakukannya, untuk menebus dosanya. Ia telah bersumpah pada diri sendiri bahwa ia tak akan pernah membunuh lagi; ia tak akan mau diupah untuk membunuh lagi; ia akan menghabiskan sisa hidupnya untuk memohon ampun pada Sang Kuasa; ia akan mengabdikan dirinya untuk membantu orang lain; ia bersumpah akan menjadi seseorang yang lebih baik. Dan semua sumpahnya itulah yang membawanya ke jalan setapak di dalam hutan yang tengah ia susuri dengan tongkatnya ini.
Merk melihat jalan setapak itu menanjak di depannya lantas menurun curam, berseri oleh dedaunan putih, dan ia memandang lagi ke kaki langit untuk mencari di mana Menara Ur. Namun belum juga ia menemukan tanda-tanda keberadaannya. Ia tahu bahwa jalan ini akhirnya akan sampai ke menara itu; inilah perjalanan batin yang telah memanggilnya berbulan-bulan yang lalu. Sejak kecil ia begitu terpesona oleh kisah tentang Sang Penjaga, ordo rahasia para pertapa/ksatria, separuh manusia dan separuh makhluk lain, yang bertugas menghuni dua buah menara—yaitu Menara Ur di barat laut dan Menara Kos di tenggara—dan mengawasi pusaka keramat Kerajaan: Pedang Api. Legenda membuktikan bahwa Pedang Api adalah pusaka yang menjaga Benteng Api tetap bertahan. Tak ada yang tahu pasti di menara mana pedang itu tersimpan; itu adalah sebuah rahasia yang tersimpan rapat yang hanya diketahui oleh Sang Penjaga pertama. Jika pedang itu sampai dipindahkan atau dicuri, maka Benteng Api akan musnah selamanya—dan Escalon akan sangat mudah diserang.
Konon menjadi penjaga menara adalah sebuah panggilan mulia, sebuah tugas suci dan tugas kehormatan—tentu saja jika Sang Penjaga menerimamu. Merk selalu bercita-cita menjadi Sang Penjaga sejak ia kecil; tiap malam menjelang tidur, ia selalu membayangkan seperti apa rasanya bergabung dengan Sang Penjaga. Ia ingin meleburkan diri dalam kesendirian, dalam pengabdian, dalam perenungan diri, dan ia tahu bahwa tak ada cara yang lebih baik selain menjadi Sang Penjaga. Merk telah merasakannya. Ia telah mengganti baju zirahnya dengan mantel kulit, mengganti pedang dengan tongkat, dan untuk kali pertama dalam hidupnya, telah sebulan penuh ia jalani tanpa membunuh atau melukai seseorang. Ia mulai merasa lebih baik.
Ketika berjalan mendaki sebuah bukit kecil, Merk memandang ke sekeliling dengan penuh harapan seperti yang telah dilakukannya selama beberapa hari ini, berharap siapa tahu dari puncak bukit ini ia bisa menemukan di mana letak Menara Ur. Namun ia tak melihatnya di mana pun—yang ia lihat hanyalah hamparan hutan, yang membentang sejauh matanya memandang. Toh ia tahu bahwa ia sudah semakin dekat dengan menara itu—setelah perjalanan berhari-hari, menara itu pasti tak jauh lagi letaknya.
Merk kembali berjalan menuruni jalan setapak yang menurun; hutan semakin lebat, dan tatkala sampai di kaki bukit, ia melihat sebuah pohon yang besar tumbang menghalangi jalannya. Ia berhenti dan mengamati pohon itu, mengagumi ukurannya dan berpikir bagaimana cara memutar untuk melewatinya.
"Menurutku jaraknya jauh sekali," bisik sebuah suara jahat di telinganya.
Mark segera mengenali maksud jahat dari suara yang didengarnya itu, sesuatu yang sangat ia pahami, dan ia bahkan tak perlu memalingkan wajahnya untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia mendengar daun-daun bergemerisik di sekelilingnya, dan dari dalam hutan muncullah wajah-wajah empunya suara tadi: para pembunuh keji, masing-masing dengan wajah yang sangat mengerikan. Mereka adalah orang-orang yang sanggup membunuh tanpa alasan. Itulah wajah-wajah begal dan pembunuh yang memburu orang-orang lemah secara acak, dengan kekejaman yang tak berperikemanusiaan. Bagi Merk, mereka adalah golongan manusia paling nista.
Merk sadar bahwa ia telah terkepung dan ia telah memasuki perangkap. Ia memandang sekilas ke sekeliling tanpa mereka menyadarinya; naluri lamanya bangkit dan ia menghitung bahwa mereka semua berdelapan jumlahnya. Mereka semua memegang belati, semuanya mengenakan baju dari kain-kain bekas, dengan wajah, tangan dan kuku yang kotor, tak satu pun dari mereka yang bercukur, dan semuanya tampak nekat, yang menunjukkan bahwa mereka belum makan selama berhari-hari lamanya. Dan mereka semua merasa jemu.
Mark merasa tegang saat pimpinan begal itu mendekat, namun bukan lantaran ia takut pada mereka; jika boleh memilih, Mark sanggup membunuh mereka, semuanya, tanpa kesulitan berarti. Yang membuatnya tegang adalah karena ia dipaksa melakukan kekerasan. Ia telah bertekad untuk menaati sumpahnya, apa pun risikonya.
"Lihat, apa yang kita dapatkan di sini?" salah satu dari mereka bertanya pada yang lain, lalu mendekat dan berjalan mengitari Merk.
"Sepertinya ia seorang pertapa," sahut yang lain dengan suara mengolok. "Tapi sepatunya itu bukan sepatu pertapa."
"Mungkin ia adalah seorang pertapa yang menganggap dirinya seorang prajurit," seorang dari mereka berkata sambil terbahak.
Tawa mereka pecah, dan salah satu dari mereka -seorang pria tolol berusia empat puluhan dengan gigi depan yang ompong- membungkuk ke arah Merk dengan nafasnya yang bau, lalu menepuk-nepuk pundak Merk. Dulu, Merk pasti sudah membunuh seseorang yang berani maju sedekat itu dengannya.
Namun Merk yang sekarang telah bertekad menjadi seorang manusia yang lebih baik, demi mengalahkan kekerasan—bahkan jika kekerasan itu mengancam dirinya. Merk memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam, menahan dirinya agar tetap tenang.
Jangan menggunakan kekerasan, katanya pada diri sendiri berulang-ulang.
"Sedang apa pertapa ini?" salah satu dari mereka bertanya. "Berdoa?"
dan meledaklah lagi tawa mereka.
"Tuhanmu tak akan menyelamatkanmu kali ini, nak!" seru yang lain.
Merk membuka matanya dan menatap tajam pada pria tolol itu.
"Aku tak ingin melukai kalian," kata Merk tenang.
Tawa mereka pun makin kencang dari sebelumnya, dan Merk sadar bahwa dengan tetap tenang, tidak menanggapi dengan kekerasan, adalah hal paling sulit yang pernah dilakukannya.
"Beruntunglah kami ini!" balas salah seorang dari mereka.
Mereka tertawa lagi, lalu tiba-tiba mereka diam saat pemimpin kawanan ini maju dan berhadapan dengan muka Merk.
"Tapi mungkin, kami ingin mencelakaimu," katanya dengan nada serius, dekat sekali dengan wajah Merk sehingga ia bisa mencium bau busuk nafas pria itu.
Seorang dari berdiri di belakang Merk, menyilangkan lengannya yang besar ke tenggorokan Merk dan mencekiknya. Merk megap-megap karena tercekik; cekikan itu cukup kuat untuk menyakitinya, namun tak sampai menghentikan nafasnya. Naluri alamiahnya adalah mencengkeram pria itu lalu membunuhnya. Mudah sekali; ia tahu benar titik di lengan yang harus ditekan agar cekikan itu terlepas. Namun ia menahan diri untuk tidak melakukannya.
Biarkan saja, katanya dalam hati. Inilah permulaan dari kerendahan hati.
Merk memandang pemimpin begal itu.
"Ambillah milikku semau kalian," kata Merk dengan nafas megap-megap. "Ambillah, dan pergilah."
"Bagaimana jika kami mengambilnya dan kami tetap di sini?" balas pemimpin itu.
"Tidak ada yang menanyaimu tentang apa yang bisa dan tidak bisa kami ambil, nak," kata yang lain.
Salah satu dari mereka maju dan menggeledah lengan baju Merk, tangannya mengaduk-aduk kantong berisi barang-barang kepunyaannya yang terakhir di dunia ini. Merk menahan diri sekuat tenaga untuk tetap tenang saat tangan orang itu menggeledah segala barang miliknya. Akhirnya, mereka menemukan belati perak tua, senjata kesukaanya, dan Merk yang masih kesakitan tetap berusaha tidak bereaksi.
Biarkan saja, katanya dalam hati.
"Apa ini?" tanya salah satu dari mereka. "Sebuah belati?"
ia menatap Merk.
"Mengapa seorang pertapa sepertimu membawa sebuah belati?" tanya seorang dari begal-begal itu.
"Apa yang kau lakukan, nak? memahat pohon?" tanya yang lain.
Mereka semua tertawa, dan gigi Merk bergemeretak membayangkan seberapa lama lagi ia mampu menahan diri.
Orang yang mengambil belati itu berhenti, memandang pergelangan tangan Merk dan menyibakkan lengan bajunya. Merk menahan diri, ia tahu bahwa mereka akan melihatnya.
"Apa ini?" begal itu bertanya, menarik lengan Merk dan mengangkatnya, lalu mengamatinya.
"Sepertinya seekor rubah," kata yang lain.
"Mengapa seorang pertapa memiliki tato rubah?" tanya seorang dari mereka.
Lalu seorang yang lain lagi maju; badannya tinggi kurus, dengan rambut kemerahan, lalu merengkuh pergelangan tangan Merk dan mengamatinya dengan saksama. Kemudia ia melepaskannya dan memandang Merk dengan mata penuh curiga.
"Ini bukan rubah, tolol," katanya pada kawannya. "Ini tato serigala. Ini adalah lambang pasukan Sang Raja—seorang prajurit bayaran."
Merk merasa wajahnya merona saat melihat mereka menatap tato itu. Ia tak ingin jati dirinya terkuak.
Semua begal ini masih terdiam, menatap tato di pergelangan tangannya, dan baru kali ini Merk melihat keraguan tersirat di wajah mereka.
"Itu adalah sebutan untuk ordo pembunuh," kata salah seorang dari mereka lalu menatapnya lagi. "Bagaimana kau mendapatkan tato ini?"
"Mungkin ia sendiri yang membuatnya," jawab yang lain. "Agar selamat di perjalanan."
Pemimpin begal itu mengangguk pada anak buahnya agar melepaskan cekikan di leher Merk, lalu Merk dapat bernafas panjang dengan lega. Namun si pemimpin itu lantas menarik dan menempelkan sebuah pisau di tenggorokan Merk, dan Merk membayangkan apakah mungkin ia akan mati di sini, hari ini, di tempat ini. Ia membayangkan bahwa mungkin ini adalah hukuman atas semua nyawa yang pernah ia bunuh. Ia bertanya-tanya apakah ia telah siap mati.
"Jawab dia," bentak si pemimpin. "Kau sendiri yang merajah tato ini?" Konon untuk mendapatkan tato ini, kau harus membunuh seratus orang terlebih dulu."
Merk menarik nafas, dan dalam keheningan itu, mereka semua menanti jawaban apa yang akan ia berikan. Akhirnya, Merk menghela nafas.
"Seribu nyawa," kata Merk.
Si pemimpin mengerjapkan mata, ia bingung.
"Apanya?" tanyanya.
"Seribu nyawa," papar Merk. "Sebanyak itulah yang harus kubunuh untuk mendapatkan tato itu. Dan Raja Tarnis sendiri yang menorehkannya di pergelangan tanganku."
Semua menatap Merk dengan terkejut, dan keheningan yang panjang menyelimuti seluruh hutan itu, demikian heningnya hingga Merk dapat mendengar bunyi decit kumbang-kumbang. Ia menduga-duga apa yang akan terjadi selanjutnya.
Lantas salah satu dari mereka tertawa tergelak—lalu diikuti oleh tawa kawannya yang lain. Mereka tertawa terbahak-bahak dengan Merk yang masih berdiri di situ; mereka pikir, itulah lelucon terkonyol yang pernah mereka dengar.
"Cerita yang bagus, nak," ujar seorang dari kawanan itu. "Kau benar-benar seorang pertapa pembohong yang lihai."
Si pemimpin itu menekankan belatinya ke leher Merk, cukup kuat hingga membuat darah mulai menetes.
"Kubilang, jawab pertanyaanku," ulangnya. "Jawablah dengan jujur. Apa kau mau mampus sekarang, hah?"
Mark diam saja sambil merasakan sakit, lalu ia memikirkan pertanyaan itu—ia benar-benar memikirkannya. Apakah ia ingin mati? Itu adalah sebuah pertanyaan yang bagus, dan sebuah pertanyaan dengan makna yang jauh lebih dalam dari maksud mereka. Ketika memikirkannya dengan bersungguh-sungguh, ia merasa bahwa sebagian dari dirnya belum ingin mati. Ia memang lelah dengan kehidupan ini, lelah setengah mati.
Namun setelah memikirkannya lagi, Merk akhirnya merasa bahwa ia belum siap mati. Bukan sekarang. Bukan hari ini. Bukan pada saat ia telah siap untuk memulai sebuah lembaran yang baru. Bukan pada saat ia baru saja mulai dapat menikmati hidupnya. Ia ingin mendapatkan sebuah kesempatan untuk berubah. Ia ingin mendapatkan kesempatan untuk mengabdi di Menara. Ia ingin menjadi Sang Penjaga.
"Tidak, aku belum mau mati," jawab Merk.
Akhirnya ia menatap lekat-lekat orang yang menahannya itu tepat di matanya, dan keteguhan mulai muncul di dalam dirinya.
"Dan oleh karena itu," lanjutnya, "Akan kuberi kalian satu kesempatan untuk melepaskanku, sebelum kubunuh kalian semua."
Mereka semua memandang Merk dengan kaget, lantas si pemimpin itu murka dan hendak mulai menyerangnya.
Merk merasa mata pisau mulai mengiris tenggorokannya, dan suatu kekuatan dalam dirinya mulai bekerja. Itu adalah sebuah sisi dalam dirinya sebagai prajurit kelas tinggi, keahlian yang ia latih seumur hidupnya, sisi lain dalam dirinya yang tak dapat menahan kesabaran lebih lama lagi. Dan itu berarti ia harus melanggar sumpahnya—namun Merk tak peduli lagi.
Old yang dahulu pun telah kembali lagi demikian cepat, seolah jati dirinya itu tak pernah ia tinggalkan—dan dalam sekejap mata, dirinya telah berubah kembali menjadi seorang pembunuh.
Merk memusatkan perhatian dan pandangannya pada tiap gerak lawannya, pada tiap kelebat, tiap titik lemah, pada tiap titik mematikan di tubuh lawannya. Hasrat membunuh telah menguasainya bagaikan seorang kawan lama yang ia temui lagi, dan Merk membiarkan hasrat itu berkuasa dalam dirinya.
Dengan satu gerakan secepat kilat, Merk menarik pergelangan tangan si pemimpin begal itu, menotokkan jarinya tepat di titik lemahnya, menghentakkannya hingga patah, dan merebut kembali belatinya yang terlepas, lalu dalam satu gerakan yang cepat, digoroklah leher lawannya lebar-lebar.
Si pemimpin itu sempat memandangnya dengan tatapan terkesima sebelum roboh ke tanah, lalu mati.
Merk berpaling dan memandang kawanan yang lain, dan mereka pun memandangnya juga, tertegun, dengan mulut ternganga.
Kini giliran Merk yang tertawa saat melihat mereka semua, menikmati apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ia berkata "Ada kalanya memang, kalian berurusan dengan orang yang salah."